“Mendaki Gunung Merapi sampai puncak bagi kami sebenarnya irasional. Tapi para pendaki sering sekali melanggar dan mengabaikan larangan itu.”
Kalimat itu terlontar dari Pelaksana Harian Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM) Tri Atmojo. Ada rasa sesal dan kesedihan mendalam saat Tri menuturkan pernyataan itu. Kalimatnya tak lugas, hampir tidak menemukan kata yang pas untuk diucapkan sebelum Tri memilih kata “irasional”.
Berita pendaki Erri Yunanto yang jatuh ke dasar kawah dari Puncak Garuda Gunung Merapi memang cukup mengejutkan publik. Tak hanya bagi sesama pendaki, mereka yang tak memiliki hobi menyusuri puncak-puncak gunung, merasai bau alam, dan menghabiskan waktu berselimut kabut juga ikut tercekat.
Bagaimana tidak, Erri terpeleset ke dasar kawah dengan kedalaman 200 meter dari bibir ceruk besar itu setelah berfoto di Puncak Garuda. Dokumentasi Erri berfoto seorang diri dengan cepat telah menyebar ke dunia maya dan menyisakan luka bagi siapa saja yang melihatnya, tak terkecuali Tri.
Menurut Tri, sebagian besar pelancong yang mendaki ke gunung dengan ketinggian 2.968 meteri di atas permukaan laut (mdpl) itu merupakan pendaki pemula. Mereka menjelajah Merapi dengan rasa penasaran tinggi untuk bisa menjamah puncaknya.
Padahal naik ke puncak Merapi apalagi Puncak Garuda merupakan aktivitas yang tak masuk akal dan terlarang. “Sudah kami beri edukasi sebelum mereka naik. Tapi saya tidak tahu kenapa banyak dilanggar. Apalagi cuma untuk foto,” kata Tri.
Larangan naik hingga ke puncak Merapi telah diterbitkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta maupun pihak BTNGM. Bahkan Kepolisian Sektor (Polsek) Selo juga menancapkan papan berisi larangan mendaki ke puncak Merapi, Juli 2012.
Papan larangan itu dipasang di pintu masuk pendakian jalur Dusun Plalangan, Desa Lencoh, Kecamatan Selo atau New Selo, Boyolali, Jawa Tengah. Ada tiga larangan yang tercantum dalam papan tersebut salah satunya adalah: mengingat banyaknya material lepas di lereng Gunung Merapi yang berpotensi longsor, maka masyarakat tidak diperkenankan atau dilarang keras melakukan kegiatan pendakian ke kawasan puncak Merapi.
Selain karena alasan ketidakstabilan kontur tanah, larangan diterbitkan lantaran kawah berdiameter 600 meter itu kerap mengeluarkan gas beracun sangat pekat. Kondisi itu terjadi terutama sejak erupsi Merapi tahun 2010 yang menelan korban hampir 300 orang termasuk Mbah Maridjan, sang juru kunci.
Sayang, para pendaki abai terhadap larangan ini. Hasrat untuk menaklukan puncak Merapi lebih besar dibanding antisipasi atas bencana yang mengintai. Perasaan gegap gempita karena bisa mendaki dan menyentuh puncak lebih mendominasi ketika langkah kaki menjejak ke daerah terlarang.
“Menurut kami, jangan ada lagi pendaki Merapi yang sampai ke puncak,” kata Tri.
Hasrat dan kepuasan mendaki memang tak perlu sampai mengalahkan upaya mencegah musibah. Karena menaklukan puncak gunung seharusnya bukan menjadi tujuan, melainkan salah satu cara untuk mensyukuri alam ciptaan Tuhan.