Sebuah Memoar untuk Mas Kelmi

Aku ada di atas motor ketika sore mulai menyapa. Kendaraan roda dua yang dikendarai suamiku memasuki kawasan Margonda diiringi senja yang hari ini nampak begitu muram.

Kemuraman yang sama seperti dirasakan keluarga dan rekan Mas Kelmi. Helmi Firdaus nama lengkapnya.

Komunikasi yang aku jalin kembali dengan Mas Kelmi, sejak kenal 10 Agustus 2007, adalah ketika ku dengar namanya disebut bosku.

“Kelmi mau gue ajak ke sini, Kan,” begitu kata Sandy Indra Pratama, Redaktur Pelaksana Kanal Nasional & Politik CNN Indonesia, pada Januari 2015.

“Wah cakep, Kang!” aku menjawab dengan senang.

Tak lama setelah percakapan itu, aku mengirim pesan BBM kepada Mas Kelmi. Menanyakan tentang proses wawancara dan hal teknis lainnya terkait rekrutmen dia di CNN Indonesia.

“Doain lancar ya, Kandi. Jadi cihuy aku pasti kalau gabung di CNN,” tuturnya.

Aku merasakan aura semangat dalam pesan BBM itu. Ada rasa bahagia juga yang aku tangkap di sana.

Beberapa hari setelahnya, aku kembali menanyakan kapan dia akan mulai bergabung di CNN?

Dia menjawab masih harus menyerahkan sejumlah dokumen dan menegosiasikan gaji. Tanpa diminta, aku menyebut jumlah gaji yang aku dapat.

Menyarankan Mas Kel agar meminta gaji di atas jumlah yang aku terima lantaran posisi dia yang juga sebagai editor.

“Terima kasih ya, Kandi. Aku senang bisa kerja bareng Kandi lagi. Kerenlah pokoknya,” pesan BBM itu masih aku ingat.

Hingga awal-awal pria kelahiran Mei 1978 ini mulai bekerja di CNN, aku memberi tahu dia tentang cara meng-upload berita, menggunakan foto, memasukan key word, membuat ringkasan, dan hal teknis lain.

“Di awal memang kelihatan repot, Mas. Tapi nanti juga biasa,” kataku ketika melihat raut bingung melingkupi wajahnya.

Dia mengiyakan. Lantas sibuk membaca berita.

Hari pertama di CNN, dia belum diminta untuk bekerja. Hanya berkenalan dengan seluruh perangkat sebelum memulai aktivitas mengedit esok harinya.

Lucu lagi ketika Mas Kel mendapat jatah laptop Macbook Air sebagai fasilitas kerja sebagai editor. Dielus-elus laptop itu sambil tersenyum.

Girang sekali. Sama girangnya ketika aku pertama kali menjajal laptop mahal itu.

“Kereeeen iki cuuukkk!” teriaknya.

“Kel, Kel, itu jangan ditimbang lho, Kel. Itu buat kerja, bukan buat dikiloin,” Pemimpin Redaksi CNN menimpali.

Mas Kelmi terbahak. Lantas dia mulai bekerja. Menjadi tanpa henti. Membuat aku, kami, sungkan pulang lantaran dia bekerja tak mengenal selesai.

Beberapa hari belakangan, Mas Kel kerap duduk di samping meja kerjaku. Meminta aku mau terus membaca ulang tulisannya, seperti kebiasaan kami untuk menghindari salah ketik dan urusan logika berita.

Katanya, “aku duduk di samping Kandi aja deh,” sambil menggotong laptop dan meletakan di atas laci meja kerja teman di sebelahku.

Lantas dia menarik kursi dan duduk berhimpitan di depan dua meja kerja.

Dia juga kerap kami teriaki karena hal sepele yang cukup penting: Mas Keeeellllll! Jawab emailnya sebelum ambil berita. Biar enggak dobel!

“Siap salah! Ampuuun! Aku lupa terus,” dia menjawab dengan rasa bersalah yang kentara.

Selamat jalan, Mas Kel. Sekarang ini, aku yang ingin berucap “siap salah” dan “mohon ampun” atas kesalahan yang aku lakukan.

Terima kasih untuk kebaikan Mas Kelmi selama kita kerja bareng. Mulai dari Koran Sindo sampai di CNN Indonesia. Dan aku, tak akan pernah lupa.

Tulisan ini tak akan pernah cukup….

0 Shares

2 responses

    • Aamiin. Iya, orang baik ya Ry si Mas Kelmi. Udah seneng dia sekarang, gak perlu ke Belanda segala. Tempatnya udah lebih dr Belanda sekarang, insya Allah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *