PERJALANAN wisata ke Sulawesi Selatan akhirnya terealisasi setelah saya rencanakan dua bulan sebelumnya. Rute trip lima hari ini adalah Tanjung Bira dan Toraja Utara.
Tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar pukul 10.00 WITA, Rabu (9/3), kami menumpang minibus menuju Terminal Mallengkeri. Ongkosnya Rp150 ribu.
Suasananya seperti bukan terminal karena tidak ada aktivitas naik turun penumpang, bahkan tak ada calon penumpang yang menunggu bus. Makin tak nyaman karena kami didatangi pemilik minibus lainnya yang menawarkan jasa sewa mengantar ke Tanjung Bira, berjarak lebih dari 180 kilometer.
Seorang petugas polisi menjelaskan, bus menuju Kabupaten Bulukumba hanya ada pada jam 7 hingga 8 pagi. Jadi kami putuskan untuk merental mobil selama perjalanan lima hari ke depan.
Sambil menanti Bapak Nadir, sopir asli Bugis yang akan mengantar, kami menyantap makan siang di Ayam Goreng Maleo Nusantara, persis di seberang pintu keluar terminal. Belum selesai kami makan, Pak Nadir sudah tiba.
Perjalanan dimulai tepat pukul 12.30 WITA, menjemput seorang teman di kawasan Merpati, lantas meninggalkan Kota Makassar. Melintasi Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, hingga tiba di Kabupaten Bantaeng.
Penuturan positif soal Nurdin Abdullah diucapkan Pak Nadir, juga Mbak Helda, rekan perjalanan kami yang juga seorang guru di Sekolah Madania Makassar. Nurdin adalah Bupati Bantaeng, seorang profesor dan disebut “dicintai masyarakat Bantaeng”.
Benarkah?
Secara selintas, Kabupaten Bantaeng memang terlihat paling rapi di antara Kota Makassar dan tiga kabupaten yang telah kami lewati sebelumnya. Jalanan beraspal mulus, tertata rapi, dengan lalu lintas yang tertib. Soal lalu lintas, di provinsi ini memang sangat tertib, sepanjang yang saya rasakan.
“Ini kita masuk Bantaeng. Di Sulsel, kabupaten ini yang paling bagus bupatinya,” suara Pak Nadir memenuhi kabin mobil.
“Iya bener. Kebijakannya paling bagus,” Mbak Helda menambahkan.
Lantas cerita soal peraih gelar doktor di bidang agrikultur Kyushu University, Jepang, ini menjadi perbincangan menarik. Pak Nadir seperti hapal di luar kepala tentang kinerja dan kebijakan yang dibuat sang bupati.
Mulai dari larangan ngebut di jalan, terutama di area sekolah; mobil ambulans yang akan tiba dalam waktu 2 menit setelah menelepon nomor 113; rencana pengadaan pembangkit listrik dengan memanfaatkan potensi daerah; hingga progres pembangunan smelter nikel.
“Bantaeng enggak punya bahan bakunya. Tapi mereka ambil dari daerah-daerah lain di Indonesia dan diolah di sini,” kembali Pak Nadir berujar.
Dasar kurang piknik, saya benar-benar baru ngeh soal sang bupati kelahiran Kotamadya Parepare, 7 Februari 1963 itu.
Tak sampai di situ, Pak Nadir juga becerita bahwa setiap dua pekan sekali diadakan pertemuan antara Bupati dengan rakyat Bantaeng. Hal itu membuat pejabat kabupaten tak ada yang berani dengan rakyat karena bisa diadukan saat pertemuan dilakukan.
Cerita itu membuat saya mencari tahu lebih banyak soal Nurdin Abdullah. Dia telah menjabat Bupati sejak 2008-2013 dan kembali menduduki posisinya pada 2013 hingga sekarang. Dia mendapat penghargaan sebagai Tokoh Perubahan dari Harian Republika dan disejajarkan dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, 30 April 2015.
Menurut Pak Nadir, yang juga diakui Mbak Helda, sejumlah titik di Kabupaten Bantaeng yang dulunya kerap direndam banjir telah menjadi kawasan hijau. Tak ada lagi banjir, bahkan genangan air pun menguap dengan cepat kala hujan datang.
Bantaeng juga diganjar penghargaan untuk Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Akuntabilitas Publik, Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Pelayanan Pendidikan, Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Pertumbuhan Ekonomi, Daerah dengan Terobosan Inovatif Bidang Pemerataan Ekonomi, Peringkat 1 Nasional Tahun 2011 Pembinaan Kabupaten Kategori Kabupaten Sehat, dan lebih dari 40 penghargaan lainnya.
Setiap perjalanan memang mendatangkan cerita. Setelah melewati Bantaeng, Kijang Innova yang kami tumpangi memasuki Kabupaten Bulukumba, lokasi Pantai Tanjung Bira di Desa Bira, Kecamatan Bonto Bahari.
Jarum jam di angka 17.30 WITA ketika kami sampai di bibir pantai. Sebelum mencari penginapan, kami menghabiskan senja dan mengabadikan matahari yang terbenam perlahan.