Saya sudah mulai les. Lagi.
Les terakhir sebenarnya April 2016 di salah satu lembaga yang tak perlu saya sebutkan namanya. Tapi karena pengajarnya lebih sering bicara bahasa Indonesia—padahal saya les persiapan TOEFL—jadilah saya cuma sekali datang.
Padahal saya sudah bayar lunas sampai tiga bulan ke depan. Buang-buang duit banget.
Tapi apa mau dikata? Dari pada buang energi pagi-pagi, sepanjang empat jam, cuma diajak ngobrol pakai bahasa Indonesia, enggak ada nilai pelajarannya banget.
Jadilah sejak 3 Agustus lalu saya les lagi, kali ini persiapan IELTS dan bahasa Belanda. Gaya banget, yaaa…
Waktu kelas pertama les persiapan IELTS, saya langsung memilih duduk di kursi paling depan, tepat di sisi kiri pengajarnya. Kenapa paling depan?
Saya paling gampang terganggu sama gerakan-gerakan orang lain di depan saya. Jadi supaya fokus, saya duduk paling depan.
Justifikasi saat bocah bahwa yang duduk paling depan biasanya anak-anak pinter, itu enggak berlaku lho buat saya. Saya pilih kursi depan justru karena enggak pinter dan mau konsentrasi tingkat dewa.
Malu sih gagal terus dapat nilai yang cukup untuk memburu beasiswa. Tes TOEFL terakhir bahkan cuma 495. Astaga, masa 500 doang enggak mampu?!
Maka itu, les kali ini saya benar-benar mau fokus, umur sudah semakin banyak dan kesempatan akan segera tertutup.
Kembali ke kelas, di belakang saya duduk dua perempuan. Asli terganggu banget karena percakapan mereka sama banyaknya dengan penjelasan pengajar di depan kelas.
Ya ampun! Kalau udah bisa banget, ngapain juga mereka masih ikut les?
Dan serius, harus banget diskusi di dalam kelas? Enggak menghargai pengajar banget, Mbaknya :p