Ada tiga negara yang sangat ingin saya kunjungi, Jepang, Belanda, dan Finlandia. Negara pertama sudah terealisasi ketika mendapat undangan meliput destinasi wisata Negeri Sakura itu dari Japan National Tourism Organization (JNTO) dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, 19 November-24 November 2016.
Karena perlu membawa dua jaket tebal, tiga sepatu—termasuk sepatu bertumit lima senti—dan perlengkapan kerja lainnya, saya membawa koper berukuran 24. Saya tidak mengisi penuh koper itu karena 100 persen yakin, sepulang dari Jepang akan membawa lebih banyak barang: oleh-oleh!
Penerbangan langsung Garuda Indonesia ke Jepang memakan waktu sekitar delapan jam. Dalam durasi itu, hanya beberapa kali pesawat mengalami guncangan, yang tidak terlalu keras, karena faktor cuaca. Selebihnya perjalanan berlangsung mulus hingga mendarat di Haneda Airport, Tokyo, pada pagi hari, 20 November.
Kami agak lupa waktu begitu menjejak di bandara. Setelah ke toilet yang airnya hangat, saya berjalan pelan-pelan, saling tunggu, mengantre di pintu keluar imigrasi bandara, hingga ternyata habis waktu hampir dua jam.
Saya tahu karena tour guide kami yang tua, disiplin, dan ramah mengingatkan hal itu. Namanya Toshihiro Kamba, kami memanggilnya Toshi-san, seorang penerjemah pemandu yang bersertifikasi dan memiliki lisensi resmi dari pemerintah setempat.
Menukar Uang
Sebelum benar-benar meninggalkan Haneda, saya menyempatkan ke ATM untuk melakukan tarik tunai dari kartu debit Bank Mandiri sekitar 1.000 yen. Menurut saya, setelah diberi tahu seorang rekan perjalanan, melakukan tarik tunai langsung di ATM negara setempat lebih efisien ketimbang harus melakukan penukaran uang di money changer di Jakarta.
Selain nilai tukarnya yang resmi, saya juga tidak perlu repot menyediakan waktu ke money changer. Belum lagi harus berhitung apakah harganya lebih murah atau lebih mahal. Bagi pekerja di kota yang sibuk dan supermacet seperti Jakarta, cara ini jauh jauh jauh lebih baik.
Keluar dari airport, suguhan pemandangan pertama adalah kedisplinan berkendara. Saya takjub melihat jalanan Tokyo tertib dan sepi dari hiruk pikuk kendaraan. Jangan harap menemukan jalan bolong dan rusak, zebra cross saja tidak ada yang pudar warnanya, berbeda sekali dengan Jakarta.
Selewat tengah hari atau sekitar tiga jam berkendara dari Haneda, kami tiba di tempat pertama yaitu Oginoya untuk makan siang. Oginoya adalah sebuah restoran yang terletak di Kota Komoro, Prefektur Nagano.
Menu Khas Jepang
Makan siang pertama saya di Jepang adalah Toge No Kamameshi Honpo di Restoran Oginoya, 4-39 Okitamachi, Suwa 392-0013, Prefektur Nagano.
Salah satu kelemahan saya jika bepergian adalah beradaptasi dengan makanan khas negara setempat. Seperti yang terjadi saat saya pergi ke Filipina tahun 2012.
Selama dua pekan di Manila, saya kerepotan menikmati menu-menu makan di negara itu. Lidah saya tidak cocok dengan rasa masakan di sana dan sama sekali tidak pedas. Beruntung saos sambal saya bawa serta dalam perjalanan kala itu.
Hal yang sama terjadi ketika saya mencicipi beberapa makanan yang ada dalam paket Kamameshi (pot rice). Sayang sekali saya tidak ingat jenis-jenis makanan yang ada dalam paket menu Kamameshi meskipun Toshi-san sudah menjelaskan beberapa di antaranya secara detail.
Tidak semua yang ada dalam menu Kamameshi tidak saya sukai. Nasi sebagai menu utama ada di bagian bawah, sementara berbagai jenis lauk dan sayur ditabur di atasnya. Saya menyantap telur puyuh, ayam, dan sayuran lainnya.
Meski wadahnya terlihat kecil, tapi saya merasa tak habis-habis mengunyah Kamameshi. Satu set Kamameshi yang kami lahap seharga 2 ribu yen atau Rp250 ribu dengan nilai tukar Rp125 per 1 yen.
Kami menyelesaikan santap siang kurang dari satu jam, dan memulai petualangan berwisata di negeri yang romantis, Jepang!
Wajah Kota Komoro
Di Komoro, kami mengunjungi Matsui Fruit Farm, Komoro Castle, Prince Shopping Plaza, dan menginap di Karuizawa Prince Hotel milik Seibu Group—sebuah grup perusahaan besar di Jepang—termasuk makan malam resmi di hotel.
Karena tujuan utama memang bekerja sambil berwisata, jadi kami harus memaksimalkan waktu yang sempit untuk mendapatkan cerita menarik di setiap tempat. Destinasi wisata ini diulas lebih lengkap dalam artikel saya di CNNIndonesia.com.
Dengan temperatur 12 derajat saat saya berada di sana, Kota Komoro siang hari terasa seperti sore hari. Matahari hampir tidak terasa, hanya dingin yang menusuk-nusuk tulang saat keluar dari ruangan atau pun dari kendaraan.
Tapi menghirup udara dalam-dalam di Komoro, dan saya yakin di semua tempat di Jepang, tidak akan menimbulkan kekhawatiran akan polusi. Karena di jalan-jalan, tidak ada mobil rongsok berasap hitam yang bebas berkeliaran, tidak ada asap rokok di sudut-sudut jalan, dan tidak ada sampah yang memunculkan wajah buruk sebuah kota.
Komoro adalah kota yang romantis dan sepi. Saya sampai bertanya kepada Toshi-san, mengapa sejak tiba di sini, saya hampir tidak melihat orang-orang hilir mudik di jalan dan trotoar? Hanya sekitar tiga empat unit yang memenuhi jalanan mulus Komoro.
Saya penasaran, bagaimana masyarakat Kota Komoro menghabiskan akhir pekan mereka? Karena saya mengelilingi kota itu hari Minggu.
Di sebuah taman menunju Komoro Castle, baru saya melihat satu keluarga kecil berjalan-jalan di area sekitar.
Hotel Ramah Lingkungan
Karuizawa Prince Hotel adalah tempat saya menghabiskan malam pertama di Jepang. Terletak di Karuizawa-machi, Kitasaku-gun, Nagano, hotel ini menunjukkan pemandangan yang menakjubkan di musim gugur.
Tapi bagi saya, hotel ini menawarkan kekaguman yang lebih luar biasa dari pada pemandangan hari itu. Saat di kamar mandi, hotel ini mengingatkan tamu bahwa kamar dan segala fasilitas didesain untuk ramah lingkungan.
Sabun, sampo, dan perlengkapan mandi lainnya—yang sudah termasuk dalam paket menginap—dibuat berbahan ramah lingkungan. Air bekas mandi juga mengalir di saluran yang berbeda dengan saluran tempat air bersih.
Saya mengetahui itu dari informasi kecil yang ditempel di tembok kamar mandi, sebuah informasi kecil dan terlihat sepele namun dampaknya bagi pertumbuhan kota yang berkelanjutan sangatlah penting.
Sebuah peringatan bahwa antara pembangunan dengan lingkungan harus berjalan beriringan. Pemerintah Indonesia harus belajar banyak dari Jepang dalam banyak hal.
Selamat berpelesir!