Dua hingga tiga bulan setelah menjalani kuliah semester 1 untuk mengejar gelar Sarjana Strata Satu (S1), November 2002, saya sudah melihat sejumlah mahasiswa senior menenteng-nenteng skripsi. Mulai dari yang supertipis, sampai sangat tebal, hingga membawanya saja tak mampu dilakukan sendiri.
Ketika itu saya berpikir: bagaimana bisa senior itu mengerjakan skripsi setebal itu? Buku apa saja yang dia baca? Apakah dia pernah membolos (mengingat saya punya kebiasaan membolos saat sekolah)? Apakah dia mengingat semua kalimat kunci dalam penelitiannya? Atau kata-kata penting dalam setiap helai halaman skripsinya?
Pertanyaan selanjutnya dan begitu penting: apakah saya bisa mengerjakannya nanti? Bagaimana bisa?
Lama setelah saya melihat senior yang menggotong-gotong skripsinya itu, saya sudah lupa tentang bayangan mengerikan mengerjakan skripsi. Toh, masih punya tujuh semester untuk kuliah, baru juga mulai, ngapain amat mikirin skripsi. Itu suara hati saya.
Hari berganti bulan, berubah tahun, sambil menikmati waktu-waktu beroganisasi di kampus, boleh dikatakan saya mengikuti kuliah dengan khidmat. Jarang bolos, bahkan beberapa mata kuliah saya tunggu-tunggu dengan berbagai alasan: suka dosennya, suka mata kuliahnya, atau karena sangat tidak mengerti materinya. Kalau pun saya bolos, itu biasanya karena harus mengikuti kegiatan tertentu di organisasi. Meski satu dua kali, bisa juga karena alasan malas.
Itu cerita 15 tahun lalu. Dan hari ini, saya kembali ada di ruang kuliah. Pada pekan pertama, semua dosen menanyakan jurusan kuliah ketika S1. Beberapa malah bertanya, apa yang kami ingat tentang materi mata kuliah ini dan itu. Memasuki pekan kedua, hampir semua mata kuliah berujung tugas. Meski agak gontai dan kikuk karena sudah lama tidak belajar, tugas-tugas itu saya selesaikan. Jangan tanya hasilnya.
Ternyata sejak pekan kedua itu, aliran tugas semakin banyak, semakin sulit, dan semakin menuntut banyak buku untuk dibaca. Saya bergumam sendiri, “Yang suruh kuliah lagi siapa? Udah bener kerja, posisi enak, gaji lumayan, eh malah kuliah lagi. Bayar sendiri, enggak cari beasiswa, mesti bolak balik Jakarta-Bandung tiap pekan. Siapa suruh?”
Ketika seorang dosen memberi lagi tugas untuk pekan selanjutnya, hampir semua teman sekelas mengeluarkan suara seperti keluhan tertahan. Sambil senyum santai, dosen kami berkomentar, “Yang suruh kuliah lagi siapa?”
Kami tertawa.
Sangat menarik tulisannya.. – salam kenal Ahzafs