Meneguhkan Hati di Perpustakaan Batu Api

Butuh waktu hampir tiga tahun untuk merealisasikan rencana ke Perpustakaan Batu Api, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Sejak pertama kali ‘mengenal’ perpustakaan ini lewat sebuah artikel di Koran Tempo edisi 10 September 2015, saya berharap bisa ke sana secepatnya.

Yah begitulah, harapan tinggal harapan. Ini seperti resolusi pada umumnya yang dibuat tahun 2015, belum terwujud pada 2016, diharapkan terealisasi 2017, dan baru benar-benar dilakukan tahun 2018. Klise.

Saya sedang mengunyah nasi goreng kampung di kedai bakso lapangan tembak ketika membuka aplikasi peta, hari ini, 14 Maret 2018. Ternyata, jarak dari tempat saya duduk menuju Batu Api hanya 190 meter. Jujur saja, ketika menumpang travel, damri, atau pun angkot, untuk bolak balik ke kos, perpustakaan itu pasti saya lewati. Tetapi saya tidak menyadari keberadaannya. Mungkin harus mengurangi penggunaan telepon selular—agar tak termasuk golongan orang-orang yang terserang ‘penyakit’ no mobile phobia (nomophobia)—dan bisa lebih sering melihat lingkungan sekitar.

Anton Solihin, pendiri Perpustakaan Batu Api, tahun ini berusia 50 tahun.

Anton Solihin, pendiri Perpustakaan Batu Api, tahun ini berusia 50 tahun. (foto: rdkandi.com)

Begitu tiba di depan perpustakaan, saya berusaha menahan diri untuk tidak jingkrak-jingkrak karena senang. Pelan-pelan saya menyeret kaki, menuju satu dari dua pintu yang terbuka. Aroma buku langsung terasa. Tak ada ruang kosong tanpa dijejali buku di perpustakaan seluas 5 x 7 meter itu.

Dinding-dindingnya penuh dengan buku apa saja, “Manajemen, farmasi, itu enggak ada. Karena saya enggak ngerti soal itu. Buku-buku di perpustakaan ini yang saya suka aja,” Anton Solihin, pendiri Batu Api, santai bercerita.

Saat saya datang, Bang Anton sedang berbincang dengan salah satu pengunjung di meja kerjanya, sebuah kebiasaan yang saya tahu dari banyak artikel tentang Batu Api. Saya agak ‘mengganggu’ obrolannya karena meminta tolong diambilkan buku “Grasberg” yang berada agak tinggi dan di susunan paling bawah.

Suasana di Batu Api, perpustakaan yang didirikan pada 1 April 1999.

Suasana di Batu Api, perpustakaan yang didirikan pada 1 April 1999. (foto: rdkandi.com)

“Ini tentang tambang emas di Papua,” dia berujar tentang buku itu.

“Iya, mungkin saya mau pinjam, Bang.”

“Enggak banyak buku tentang tambang di Indonesia. Kenapa ya jarang yang nulis? Saya juga enggak punya banyak,” kata Anton, bergerak kembali ke mejanya. Saya mengikuti dari belakang.

Setelah duduk, saya mengulurkan tangan, berkenalan, dan perbincangan dilanjutkan. Lahir dan kuliah di zaman Orde Baru, Anton ingat betul bahwa mahasiswa di eranya tidak pernah tahu bahwa Papua menyimpan kekayaan emas yang membuat perusahaan hampir bangkrut bisa menguasai dunia setelah mengeksploitasinya.

“Kami cuma tahu Tembagapura, yang hanya ada tembaga. Saya baru tahu bahwa sebenarnya itu gunung emas, ya setelah reformasi. Benar-benar enggak tahu sebelumnya,” kata Anton.

Mencontek dari Wikipedia, Tembagapura adalah distrik setingkat kecamatan yang berada di Kabupaten Mimika, Papua. Di distrik inilah, Gunung Grasberg yang menyimpan tembaga dan lebih banyak lagi emas, berada. Mengapa dinamakan Tembagapura jika lebih banyak bongkahan emas di dalamnya? Mungkin ada dari kalian yang lebih tahu alasannya.

Pembaca bebas menghabiskan waktu di Perpustakaan Batu Api, dengan jam operasional Senin-Sabtu jam 10.00-18.00 WIB.

Pembaca bebas menghabiskan waktu di Perpustakaan Batu Api, dengan jam operasional Senin-Sabtu jam 10.00-18.00 WIB. (foto: rdkandi.com)

Buku “Grasberg” yang saya pinjam diterbitkan oleh Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc tahun 1996 dengan judul asli “Grasberg: Mining the richest and most remote deposit of copper and gold in the world, in the mountains of Irian Jaya, Indonesia” dan dialihbahasakan ke Indonesia tahun 1999. Saat menulis blog ini, buku yang ditulis oleh George A Mealey tersebut belum saya baca. Tapi informasinya pasti merupakan versi penerbitnya. Saya akan berusaha mengunggahnya setelah selesai membaca.

Dari Grasberg, perbincangan kami lainnya masih seputar isu-isu pertambangan dan lingkungan, karena saya mengenalkan diri sebagai mahasiswa Komunikasi Lingkungan, jurusan yang kurang populer, dan belum saya temui di kampus negeri lainnya di Indonesia. Bang Anton juga mengaku, dari sekian banyak mahasiswa yang menjadi anggota perpustakaan dan pengunjung Batu Api, dia belum pernah mendengar ada yang mengambil jurusan itu.

Omong-omong, saya juga sekaligus mendaftar menjadi Anggota Perpustakaan Batu Api dengan bea registrasi Rp15 ribu, dan biaya pinjam buku Rp3 ribu per minggu. Sangat bersahabat bagi kantong mahasiswa, hanya 3 persen dari anggaran rata-rata per bulan untuk kuota internet.

Mengusung tema "Buku, Musik, Film", Batu Api rutin menggelar pemutaran film dan acara musik. Kamis malam esok, 15 Maret 2018, akan diputar film bertema punk.

Mengusung tema “Buku, Musik, Film”, Batu Api rutin menggelar pemutaran film dan acara musik. Kamis malam esok, 15 Maret 2018, akan diputar film bertema punk.

Cerita Bang Anton bahwa buku-buku di Batu Api adalah buku yang dia suka semakin meneguhkan hati saya untuk melakukan hal yang sama pada buku-buku jurnalisme dan komunikasi lainnya. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah konsistensi, sebagaimana yang dilakukan Bang Anton untuk Batu Api. Melalui perbincangan singkat itu, mungkin sekitar 15 menit, saya melihat Bang Anton sebagai orang cerdas yang sederhana. Gaya bicaranya santai, tenang, berisi, dan dia Milanisti. (*)

0 Shares

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *