Sepulang kuliah pada 19 Oktober 2017—ingat tanggalnya karena melihat histori percakapan via WhatsApp—saya janji bertemu dengan seorang teman baik semasa kuliah S1.
Kami bersua di TreeHouse Cafe, Kota Bandung. Selain dekat dengan kosan, suasana di kafe ini juga asyik. Kami lantas menghabiskan makan siang yang terlalu sore, ditambah bincang-bincang dan upaya saling mencela. Mengetahui teman saya akan bertolak pulang ke Jakarta, saya memutuskan ikut menumpang mobilnya menuju arah yang sama.
Setelah satu jam perjalanan, kami mampir di salah satu masjid di sebuah rest area. Teman saya salat, sementara saya mendatangi salah satu toko dan memutuskan membeli dua jenis penganan untuk dihabiskan selama perjalanan. Pelayan toko bersiap mengantongi camilan yang saya beli, membuat saya segera bersuara, “Enggak usah pake plastik, Mbak.”
“Terus gimana bawanya, Teh?” dia menjawab cepat.
“Enggak apa-apa. Saya pegang aja.”
“Pake plastik aja deh. Kasian kalo enggak pake palstik,” dia memaksa.
“Kasian? Enggak apa-apa kok. Saya enggak mau pakai plastik.”
Sang pelayan lantas melanjutkan pekerjaannya, menyebut nominal yang harus saya bayar, dan mengangsurkan dua penganan tadi dengan wajah mengkerut. Bingung dia. Tapi saya lebih keder lagi.
Ah, tak usah dipikirkan.
Lantas saya berbalik badan untuk melangkah menjauh dari toko camilan menuju kursi-kursi di area tersebut. Baru saja duduk, terkejut saya ketika sang pelayan tahu-tahu sudah muncul tepat di hadapan saya sambil menenteng plastik, “Dipake aja ya, Teh. Kasian ditenteng-tenteng gitu.”
Reaksi pertama setelah terkejut, saya mengoceh panjang pendek dalam hati: whyyyyyy?!?!?!!
“Ya ampun, Mbaaaak. Emang kenapa sih kalo saya enggak pake plastik?” tensi mulai naik.
“Kasian ngeliatnya Teh, mending pake plastik. Kan enggak bayar,” asli maksa.
“Gini aja deh, Teteh. Saya bayarin aja plastik itu dan tolong taro lagi plastiknya ke toko Teteh. Berapa harga plastiknya? Rp200? Rp500? Rp1.000 atau Rp2.000? Atau malah Rp5 ribu karena di rest area? Nih saya bayarin. Tapi jangan maksa saya pake plastik.” Bukan sok tajir. Tapi kesal!
Kentara sekali dari wajahnya bahwa si pelayan toko itu terkejut. Di antara kekagetannya, dia menggeleng cepat dan tersenyum kecut. Sementara di area parkir mobil, teman saya sudah melambai dan memberi kode untuk melanjutkan perjalanan.
Uang Rp5 ribu yang tadi ditolak, saya kembalikan ke saku jins, sambil berujar ke penjaga toko, “Teteh, saya dan camilan ini baik-baik aja kok tanpa plastik. Enggak usah ngerasa kasian.”
Dia hanya cengengesan.
Jadi saudara-saudara, dua bungkus camilan yang membuat penjaga toko merasa iba melihat saya menenteng-nentengnya hanyalah seukuran, hhmmm, ada yang tahu ciki Chitato seharga Rp15 ribu atau lebih? Saya lupa ukuran berapa gram. Tapi sekitar itulah ukuran masing-masing—dari dua camilan—yang saya beli.
Dikasihani atau bahkan dianggap aneh lantaran menolak menggunakan plastik untuk barang belanjaan sebenarnya bukan sekali ini saja terjadi.
Selasa, 13 Maret 2018—saya menyukai detail, jadi kalau masih ingat peristiwa persisnya, sering kali saya bisa menemukan tanggalnya dengan berbagai cara tertentu—saya membeli obat batuk dan demam di apotek berjarak 350 meter dari kamar kos di Jatinangor. Ketika sudah berada di jalan raya, saya baru ingat tak membawa kantong.
Ada tiga jenis obat yang saya beli, yaitu satu kotak (isi lima?) Tolak Angin Flu dan Batuk, serta Panadol dan Enervon-C masing-masing satu papan. Aduh, tak berniat promosi dan tentu bukan endorse (apalah saya….). Hanya ingin memberi gambaran tentang produk yang akan saya bawa.
Sebelum si apoteker (?) memasukkan obat-obatan itu ke plastik, saya buru-buru menyahut, “Enggak usah pakai plastik.”
“Bener nih enggak usah?” dia heran.
“Iya, enggak perlu.”
“Terus bawanya gimana?”
“Saya tenteng aja.”
“Apa enggak repot?”
Karena enggan menjawab, saya hanya menatap lekat-lekat dengan wajah datar si apoteker yang langsung merasa salah tingkah. Alhamdulillah, yaa Allah…..
Setelah pintu apotek tertutup di belakang saya, saya berharap segera sembuh dan tak kembali ke sana.
Kegaduhan soal plastik juga terjadi baru-baru ini di sebuah toko apparel olahraga ternama di Cibinong City Mall. Bersama dua sahabat, Maul (tambahan Kenzie dan Keiko) dan Aty, kami menghabiskan sore hari Kamis, 5 April 2018, untuk traktiran ulang tahun dan membeli kado.
Setelah makan-makan di sebuah warung steak—di mana Maul menyesali pilihan minumnya—kami bergeser ke toko-toko. Apa saja yang terlihat menarik, kami masuki dengan niat awal untuk mengelabui Aty, agar seolah-olah kami tidak memiliki tujuan tertentu selama ngider di mal itu. Padahal asilnya, kami ingin membelikan dia sepatu sebagai hadiah ulang tahun.
Pada hari yang sama sebelum ke CCM, saya sudah mendatangi mal lain untuk melihat-lihat sepatu. Aty tidak tahu soal ini. Tapi saya bingung mana yang harus diangkut lantaran tidak yakin selera dia. Jadilah saya segera ke Kedai Aksara—kapan-kapan saya cerita soal asal muasal kemunculan kedai ini. Menarik enggak, ya?
Ketika chat dengan Maul, dia usul, “Bagaimana kalau kasih teflon atau perlengkapan masak lainnya? Aty kan suka masak.”
Saya kurang setuju. Karena kalau demikian, kadonya berarti bukan untuk Aty seorang, melainkan untuk seluruh anggota keluarga.
Kepada Maul saya bilang, Aty pernah mau olahraga lari biar ukuran badannya menciut. Jadi, bagaimana kalau sepatu saja? Maul setuju! Tanpa direncanakan jauh-jauh hari, sampailah kami di mal itu.
Di toko pertama, alih-alih mengikuti Aty mengitari setiap sudut, saya malah ikut melihat-lihat dan terjebak pada satu kaos cakep yang didiskon 70 persen. Naluri murahan muncul dan setelah hampir batal, akhirnya diangkut juga itu kaos.
Ketika seorang kasir meraih plastik untuk menjejali si kaos ke dalamnya, saya menyahut, “Enggak usah pake plastik, Mas.”
“Oh, oke.”
Tapi setelah membayar, si kasir tetap membungkus kaos ke dalam plastik yang terlanjur dia ambil.
“Lho, Mas?”
“Ya udah, Ibu, enggak apa-apa dipake plastiknya. Cuma begitu doang,” dia menjawab sekenanya.
“Tapi kan saya bilang enggak mau,” kataku sambil menatap buas ke arah kasir.
“Oh iya deh, Bu. Maaf.”
Saya tak mendapatkan plastik yang dipaksakan itu, sementara di toko setelahnya, Aty membawa pulang sepasang sepatu hasil diskusi dibatasi kaca dengan Maul. Sebuah pemandangan yang aneh.
Sampah Sesungguhnya
Mengutip CNNIndonesia.com, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, plastik dari 100 toko anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) mencapai 10,95 juta lembar per tahun.
Berdasarkan data Jambeck (2015), Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut sebesar 187,2 juta ton, setelah China (262,9 juta ton).
Setiap tahun, produksi plastik menghasilkan sekitar 8 persen hasil produksi minyak dunia atau sekitar 12 juta barel minyak atau setara 14 juta pohon.
Menurut KLHK, lebih dari 1 juta kantong plastik digunakan setiap menit, dan 50 persen dari kantong plastik itu hanya dipakai satu kali dan langsung dibuang. Dari angka itu, hanya 5 persen yang benar-benar didaur ulang.
Ayo dong! Kurangi pemakaian plastik.
Yang bisa dimasukin ke tas tanpa plastik, jangan dipakai. Apalagi kalau plastik itu enggak akan ada gunanya lagi selain ngantongin camilan, obat, atau kaos, seperti yang saya tuturkan di atas. Sebisa mungkin, bawa kantong. Kadang saya juga suka lupa bawa, tapi pasti ada cara agar tidak mengonsumsi plastik.
Enggak perlu kampanye ke orang lain dulu, deh. Ingat kata Aa Gym—tolong jangan lihat poligaminya, tapi dengar yang dia katakan—mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan dimulai dari sekarang.
Kepada segenap perusahaan, edukasilah karyawannya. Supaya semringah mendapati pembeli yang menolak menggunakan plastik. Bukankah juga, dengan demikian, mengurangi biaya belanja plastik?
Kuy!
Disclaimer: Blog ini ditulis ketika bercakap-cakap dengan Dyah tentang banyak hal, termasuk isu lingkungan dan sampah plastik.