Ganna Pryadharizal yang Kami Kenal

Laporan mendalam yang diproduksi Tirto.id bagi saya tidak mengejutkan. Bukannya saya tidak tercengang dengan berita yang ditulis, hanya saja fakta utama yang terungkap dalam artikel sudah satu tahun lalu mengantar berita duka bagi kami. Cerita duka yang enggan kami bagi.

Pekan ketiga bulan Mei 2018, saya sedang menginap di rumah teman kuliah di Cileles, Jatinangor, ketika seorang kolega di kantor dulu berbagi video keterangan pers Sidney Jones. Jones—dalam video yang saya putar dua kali untuk memastikan saya tak salah dengar—menyebut nama seorang terduga, terafiliasi, jaringan ISIS asal Indonesia.

Deg!

Nama yang disebut membuat saya tersentak, gemetar, dan mata saya panas. Dalam diam saya berharap salah dengar, atau data Jones keliru, atau kemungkinan lain yang bukan itu. Bukan nama Ganna Pryadharizal Anaedi Putra yang disebut tergabung ISIS.

Buru-buru saya menghubungi kawan yang juga satu angkatan dan tongkrongan dengan Ganna: Megi, Lia, Fe. Saya tak bisa melihat wajah mereka ketika menerima pesan WhatsApp di pagi Ramadan yang cerah hari itu. Tapi kesedihan dan keterkejutan terbaca jelas dari balasan mereka.

Selepas siang, Fe menelepon, “Kandiiiiii, gue baru liat WA lo….” Suaranya yang sudah serak dari sananya makin parau karena dia terisak di telepon. Pertahanan kedua mata saya bobol, satu dua tetes jatuh juga.

“Gak mungkin Ganna, Kandi. Masa sih orang koplak kayak dia….”

blog friends

 

Fe benar, karena itulah yang juga dikatakan Megi, Lia, Neneng, Esa, dan pasti hampir semua orang yang pernah kenal dengannya di kantor. Ucapan Fe mewakili perasaan dan pemikiran siapa pun dari kami. Tak ada yang percaya. Sukar dipercaya. Penjelasan Jones yang singkat tentang Ganna bukanlah Ganna yang kami kenal.

Ganna yang disebut Jones, terlebih yang diberitakan panjang lebar oleh Tirto.id, bukan sosok yang menghabiskan waktu bersama kami selama hari-hari menjadi CR, label yang diberikan kepada kami sebagai Calon Reporter (CR) sejak kami semua resmi berkenalan pada 10 Agustus 2007. Itu jelas Ganna yang berbeda. Ganna yang kami kenal adalah orang yang kocak, tak sakit hati diledek dan tak enggan mengejek balik, berpikiran terbuka, mau mendengarkan bualan rekan-rekannya dan tak segan berbagi cerita.

Kami ingat Ganna tidak canggung berinteraksi dengan siapa saja, pembawaannya santai. Dengan kecerdasan yang kami yakin melebihi kami semua dan kemampuan berbahasanya yang juga jauh lebih mumpuni, Ganna sangat rendah hati. Tidak pernah merasa paling tahu, paling bisa, paling paham, apalagi paling pandai.

Ganna yang lekat dalam ingatan kami adalah sosok yang menyenangkan, peduli pada teman, bukan tipikal yang bikin bubar tongkrongan (jika Anda tahu maksud saya). Karena itu, kami selalu rela menunggu satu bahkan dua jam sebelum menuju lokasi kongkow agar Ganna bisa ikut serta. Tugasnya di desk internasional sering membuat Ganna baru bisa lepas tugas jam 10 atau 11 malam, hal yang juga terjadi dengan CR di desk nasional atau ekonomi jika sedang kebagian mengisi halaman depan koran.

Tak hirau jarum jam sudah menunjuk angka berapa, Ganna tak pernah lebih dulu menyudahi pembicaraan atau ingin cepat pulang. Dia seperti punya banyak energi, segudang cerita, dan  luapan tawa untuk dibagi. Dan tak memusingkan siapa yang diantar pulang, boncengan motornya tak pernah kosong dari penumpang. Lia yang kediamannya searah Ganna di Bekasi lebih sering mengisi jok belakang; sesekali, Fe dan saya juga nebeng jika kebetulan piket di waktu yang sama.

Kalau saya perlu menekankan, Ganna yang kami kenal tak pernah menempatkan diri terlalu fanatik tentang topik-topik yang kami bincangkan. Meski dia berhadapan dengan pemikiran dan karakter teman-temannya yang berbeda atau amat sangat bertolak belakang dengan pendapat dirinya sendiri. Kami tahu dia memberi ceramah di masjid-masjid karena pengetahuan agamanya memang layak untuk didengar orang.

Suatu waktu tahun 2008, kami menghabiskan waktu satu hari penuh di Dunia Fantasi (Dufan). Menikmati semua permainan, menertawakan dan menceritakan apa saja, dan baru pulang ketika semesta berubah gelap. Fe bercerita, dia bahkan pernah menghabiskan waktu akhir pekan mencari jam tangan bersama Ganna di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, sebelum memulai piket mereka di kantor.

Jika Taman Menteng, Jalan Sabang, atau pelataran taman kantor punya CCTV pada medio 2007-2008, rekaman tongkrongan kami pasti muncul berkali-kali. Biasanya antara jam 10 malam sampai jam 4 pagi. Boleh dibilang, hampir setiap hari. Enggak kerja? Yaa kerja, dong. Belum ada jatah libur, ingat?

Sambil becanda, tentu saja, kami pernah menanyai Ganna, “Lo kan lulusan kampus keren di Kairo, ngapain ngelamar ke sini? Gak ada perusahaan lain yang mau nerima lo ya?”

Dia tergelak dulu sebelum menjawab, “Sialan lo pada! Emang kenapa sih kalo gue mau jadi wartawan?!”

Yang lain menyahut, “Gak percaya! Pasti karena elo gak dapet kerjaan di kantor lain, kan? Lo kan CV-nya doang yang bagus, kelakuan maahhh….”

Tertawa lagi, sebelum Ganna nyeletuk, “Lah, bukannya kita semua gitu? Cuma bagus di CV?”

Hanya satu bulan selepas masa percobaan sebagai CR yang dijalani selama enam bulan, Ganna memutuskan pindah kerja. Kabar dia mengundurkan diri saya terima langsung darinya—yang juga dia informasikan kepada teman-teman lain—sebelum dia secara resmi menyerahkan surat resign dan bicara dengan asisten redaktur dan redakturnya.

Percakapan 25 Februari 2008

Percakapan 25 Februari 2008

Tapi pengunduran diri Ganna bukan akhir komunikasi kami. Sesekali chatting dan saling balas komentar di Facebook masih saya lakukan. Dalam beberapa kali percakapan, Ganna menyinggung bahwa akun Facebook-nya tak bisa diakses karena diblokir, dan saya tidak bertanya lebih jauh mengapa. Kami juga masih menjadwalkan nongkrong dan merealisasikannya, hingga benar-benar tak ada lagi kontak sekitar awal tahun 2010.

Namanya baru saya dengar lagi tahun lalu, tepatnya 23 Mei 2018, lewat kiriman tautan video Jones itu. Sebuah cara mendengar kabar teman lama yang tak pernah diinginkan siapa pun. Menyimak video tersebut membawa kami pada usaha mencari tahu kebenaran informasinya, dan kami mendapatkannya berselang hari kemudian.

Kami sudah merelakannya, karena toh tak ada yang bisa kami lakukan, kecuali mendoakan Ganna. Berharap yang terbaik untuknya dan semoga dia telah memohon ampunan-Nya. (*)

0 Shares

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *