Tinggal di Apartemen, Asyik atau Enggak?

Enggak terasa, genap tiga bulan gue dan suami nempatin apartemen di Kalibata City. Tinggal di apartemen asyik atau enggak sih jika dibandingkan dengan menetap di rumah yang menjejak tanah? Pasti plus minus sih, gue yakin semua penghuni apartemen di mana pun berada merasa demikian.

Buat yang masih ragu-ragu mau ngungsi dari daerah pinggiran Jakarta ke apartemen, nih cerita pengalaman gue tinggal di apartemen. Semoga bisa jadi pertimbangan untuk memutuskan pindah atau enggak.

Gue ceritain yang enggak enaknya dulu ya. Biar selesai baca artikel ini, yang diinget cuma yang asyiknya aja, uhuk!

Kenapa enggak asyik?

Enggak asyiknya baru gue rasain tadi malem. Sekitar jam 8 malam, tiba-tiba dinding tembok yang menempel dengan tetangga sebelah kiri—karena gue enggak punya tetangga sebelah kanan—bergetar ditingkahi suara mesin bor.

Suaranya asli membahana. Gue sampai terlonjak pas lagi nyender di tembok itu, hiks. Gue merasa seperti ada di ruangan yang sama dengan aktivitas ngebor itu dilakukan. Maklum, selama tiga bulan ini, unit di sebelah kiri gue kosong. Sementara, gue beruntung punya unit di  hoek, jadi enggak punya tetangga di sebelah kanan.

Bukannya gue seneng enggak punya tetangga, lho. Cuma bersyukur dapet di hoek, punya jendela dua. Eh, lanjut dulu soal suara bor ya.

Sekali bunyi, dua kali, lalu berhenti. Gue anteng lagi. Tapi tak lama kemudian, “Tok! Tok! Tok! Tok! Tok!” Suara palu mukul tembok dooong. Masya Allah, tega amat ini tetangga baru. Kagak bisa besok pagi apah aktivitas melubangi dan pukul memukulnya?

Apartemen Kalibata City terlihat dari jendela kamar.

Dari pada keterusan, gue ketuk aja pintu unit si tetangga. Begitu si empunya muncul, “Halo, bisa besok aja gak ngerjain urusan temboknya?”

“Eh iya bisa. Ini udah kok.”

Nah, karena dia enggak minta maaf, jadi gue juga tak repot-repot bilang “makasih”. Hhhhmmmm. Baru selangkah gue pergi, suara palu lagi, yang sama kencangnya. Ketuk lagi pintunya, “Katanya udah selesai?”

“Eh iya ini cuma sebentar kok.”

“Jangan gitu, Mbak. Kan ini udah malem. Berisik. Besok pagi aja.

“Bentar kok.”

“Aturannya setau saya cuma dari pagi sampe jam 4 sore, Mbak, kalau ngerjain yang berisik-berisik begini.”

“Oh, oke.”

Enggak berisik lagi sih. Cuma sayup-sayup gue mendengar upaya-upaya lain untuk tetap ngakalin temboknya. Karena suaranya enggak heboh, ya sudah. Ini pun bisa dibilang, bukan pengalaman yang enggak asyik banget. Biasa aja.

Jadi sejauh ini, begitu yang gue rasain. Kalibata City dianggap marak prostitusi? Gue tahu di berita-berita memang banyak ceritanya. Tapi balik lagi ke pilihan masing-masing. Lagian, agak susah ya kalau berharap penghuni 13 ribu unit yang ada di seluruh bumi Kalcit ini hidupnya lurus-lurus aja. Sejauh ini, gue juga enggak menemukan yang ajaib-ajaib berlebihan di sini.

Plusnya, ya semua. Keluhan-keluhan yang gue baca di blog penghuni lain di apartemen, alhamdulillah enggak gue rasain. Ada kan yang bilang, sering ada serangga atau binatang kecil-kecil di kamar mandi apartemen.

Manajemen apartemen juga banyak disorot. Sejauh ini, alhamdulillah gue enggak punya keluhan terkait manajemen. Tiga hari nempatin unit, flush toilet jebol. Suami gue langsung hubungin sekuriti di lobi. Enggak sampai sejam kemudian, ada teknisi yang datang dan ngedandanin toilet itu.

Sisi lain Apartemen Kalibata City dilihat dari jendela lainnya.
Pengalaman lain sama teknisi adalah ketika kitchen sink di kitchen set belum terpasang. Sempat manggil teknisi di sini sampai dua kali, masih tetap bocor tempat pembuangan airnya. Buat gue enggak masalah, karena isunya ada di kemampuan teknisi itu, bukan manajemennya yang lambat atau enggak mau bantu.

Masih soal manajemen, terlepas dari segala kekurangan yang mungkin dirasakan penghuni lain yang sudah lama tinggal di sini, gue belum merasakan ada persoalan signifikan. Keluar masuk barang juga mudah. Cuma tinggal minta surat aja di customer service (CS) yang ada tiap Senin-Jumat di jam kerja.

Mau ngerjain ktichen set atau perintilan furniture lainnya, bisa langsung izin. Bawa tukang dari mana juga boleh, enggak diminta bayar ini itu. Asal izin dan ada suratnya, semua oke. Gue lihat, taman, saluran air, dan fasilitas umum dan sosial lainnya juga selalu dirawat dan kelihatan bersih.

Belanja sayur, buah, dan keperluan kulkas lainnya ada semua di bawah. Ada yang buka lapak di kios-kios, atau yang modern juga ada di Kalcit Square. Malas masak dan mau jajan aja? Warung nasi 24 jam, kafe, tempat ngopi, berjajar, tinggal pilih yang sesuai kantong.

Kesimpulannya, gue malah hampir enggak merasakan pengalaman enggak asyiknya sejauh ini. Secara umum sangat menyenangkan, simple, dan deket ke rumah orang tua, pusat kota, tempat kerja, dan kawan sepergaulan. Pilihan transportasinya juga banyak, ojeg online, bus TransJakarta, commuter line.

Unitnya sempit? Iya mungkin kalau ditinggali sama keluarga yang sudah punya anak. Meskipun kawan gue yang punya tiga anak pun masih merasa nyaman tinggal di sini. Terutama karena aksesnya jadi waktu istirahat lebih banyak, enggak pegel di jalan.

Nah, untuk yang masih berdua, unit seluas lebih kurang 33 meter cukup kok. Malah asyik, ngepel dan nyapu cuma makan waktu kurang dari 30 menit. Kalau sama sekali males gerak, tinggal mesen Go-Clean. Beres!

Eh iya, temen gue ada yang nanya, serem enggak tinggal di apartemen? Awalnya, gue pun ragu. Duh, berani enggak ya? Kalau di lift malem-malem sendirian, belum lagi kalau horor. Jadi gue banyak baca di forum-forum. Alhamduillah sejauh ini aman, nyaman, tenang. Gue juga enggak khawatir meski lagi sendirian di unit, jam berapa pun, insya Allah.

Soal biaya-biaya dan pengeluaran bulanan, ini rinciannya: Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) Rp2.524.000, dibayar per enam bulan. Bayar listrik dan air sekitar Rp514 ribu pemakaian normal untuk masing-masing satu unit AC, kulkas, dispenser air panas, cooker hood, tv, dan laptop.

Jika nanti ada cerita lainnya, gue unggah lagi. Nah, ada komentar?

0 Shares

One response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *