Menanti Preseden Gugatan Penggunaan Foto Jefri Tarigan

Blog ini seharusnya saya unggah kemarin, Selasa (24/9), pagi-pagi sekali. Tapi karena kemarin pagi—seperti pagi-pagi lainnya—saya sibuk dengan pikiran sendiri yang tak karuan, saya urung menulis kisah yang pertama kali saya dengar pada malam tanggal 3 September.

Ketika itu saya hanya menyimak ceritanya, tanpa sedikit pun bertanya lebih lanjut. Tapi pekan demi pekan berlalu dan kasus ini berkembang dari satu fakta persidangan ke fakta yang lain. Kasus? Persidangan?

Iya kasus, dan sudah bergulir di persidangan sejak April 2019. Ada banyak hal yang membuat saya terkejut sekaligus penasaran di kasus gugatan perdata yang dilayangkan Jefri Tarigan (Jefta), pewarta foto paruh waktu, terhadap PT Tribun Digital Online atau Tribunnews.com tersebut.

Jefta menggugat Tribunnews lantaran menggunakan sejumlah karya fotonya di Kantor Berita Barcroft tanpa izin. Foto-foto itu di antaranya adalah foto seorang anak bernama Arya Permana asal Karawang, Jawa Barat, yang mengalami obesitas.

Sumber: Pixabay

Sumber: Pixabay

Untuk blog ini, saya hanya akan membahas dua, dari beberapa poin lainnya yang membuat saya penasaran. Dari cerita yang saya dapat, dan berdasarkan empat artikel sekaligus video pemberitaan di Tribunnews, ada pihak yang sependapat bahwa (1) penggunaan karya foto tanpa izin diperbolehkan, asal menyebut sumbernya. Muncul juga perdebatan tentang (2) apakah media merupakan organisasi komersial atau bukan.

Mengingat kasus perdata ini merupakan persoalan hak cipta, saya akan bertolak dari Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Saya bukan ahli hukum dan tak pernah punya latar belakang pendidikan hukum. Saya hanya orang yang tertarik pada hukum dan sekali dua kali pernah meliput kasus-kasus hukum (pidana), dan tak pernah sekali pun meliput kasus hukum perdata.

Sengaja saya sampaikan kelemahan-kelemahan saya di awal blog ini, agar saya tak disoraki dan apalagi dihujat di akhir tulisan jika ada pernyataan, pendapat, maupun argumentasi yang ambigu dan lemah.

Pasal 43 UU Hak Cipta menyatakan, perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta meliputi (poin c) pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Pasal 43 ini terdiri dari lima poin, a sampai e. Tapi yang seolah-olah dianggap ambigu (padahal tidak), atau istilah kawan saya, “enggak jelas itu pasalnya,” hanya poin c. Pasal 43 poin c  digunakan misalnya untuk mengatakan, ini menjelaskan distribusi terbatas nonkomersial.

Apa betul Pasal 43 tidak jelas? Apakah definisi “berita aktual” tidak detail tolak ukurnya?

Untuk mencari tahu jawabannya, kita bisa mampir ke halaman 51 UU Hak Cipta di bagian penjelasan pasal-pasal.

Penjelasan Pasal 43 poin c berbunyi: Yang dimaksud dengan “berita aktual” adalah berita yang diumumkan atau dikomunikasikan kepada publik dalam waktu 3×24 jam sejak pertama kali dikomunikasikan kepada publik.

Sementara, yang saya bahasakan sejak awal blog ini sebagai “karya foto” telah memiliki definisi sendiri dalam UU Hak Cipta. Disebutkan di Pasal 1 nomor 10 bahwa “potret” adalah karya fotografi dengan objek manusia. Jadi selanjutnya, saya akan menggunakan diksi “potret” untuk menjelaskan karya fotografi milik Jefta tersebut.

Sampai di sini jelas bahwa Pasal 43 poin c tidak dimaksudkan untuk merujuk pada “potret”, melainkan “berita aktual”. Jika pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian, bukan termasuk pelanggaran Hak Cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 43, tidak demikian halnya dengan potret.

Tidak ada ambiguitas, keraguan, apalagi ketidakjelasan dalam bunyi pasal-pasal itu mengenai Hak Cipta mana yang melanggar jika diambil dan mana yang sebaliknya.

Jika belum cukup jelas, kita masih punya Pasal 48 yang juga mengatur soal penggunaan Ciptaan yang tidak melanggar. Pasal 48 menjelaskan, penggandaan, penyiaran, atau komunikasi atas Ciptaan yang menyebutkan sumber dan nama Pencipta secara lengkap tidak dianggap pelanggaran dengan ketentuan Ciptaan berupa (a) artikel, (b) laporan peristiwa aktual atau kutipan singkat dari Ciptaan, dan (c) karya ilmiah, pidato, ceramah, atau Ciptaan sejenis.

Sekarang setelah jelas regulasinya, masih perlukah kita mendebat tentang apakah media termasuk institusi komersial atau bukan? Untuk menjawab perdebatan ini pun, pertanyaan yang harus kita jawab juga sebenarnya sederhana saja, bahkan amat sangat sederhana:

Apakah media itu bernaung di bawah sebuah yayasan atau perseroan terbatas (PT)?

Bagi saya, hal paling penting dari sebuah kasus bukanlah apakah kasus ini melibatkan kita, saudara, atau kawan kita, melainkan bagaimana putusan atas kasus ini bisa memunculkan preseden untuk persoalan-persoalan serupa di masa mendatang. (*)

0 Shares

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *