Perjalanan saya menumpang Kereta Api Commuter Line (CL) tiba-tiba terhenti di antara Stasiun Sawah Besar menuju Mangga Besar, 4 Agustus 2019. Tapi perkara commuter tersendat di tengah perlintasan karena menunggu sinyal atau antre masuk stasiun tujuan adalah hal biasa. Bukan masalah besar selama, saya tidak sedang terburu-buru dan pendingin tetap menyala. Apalagi kalau saya juga membawa buku atau novel: aman.
Di antara Stasiun Tebet menuju Manggarai, dari Stasiun Tanjung Barat mengarah ke Stasiun Pasar Minggu, dan dari Depok menuju Stasiun Besar Citayam, adalah titik-titik yang biasanya menghadapi drama ‘menunggu sinyal masuk stasiun’. Tapi yang terjadi pada hari Minggu sekitar dua bulan lalu itu berbeda.
Penerangan dan pendingin ruangan di dalam commuter mati, disusul sinyal telepon hilang, lampu dan pendingin ruangan di toko-toko ritel di sekitar stasiun padam. Cerita selanjutnya, kita semua tahu: blackout! Terjadi tepat satu hari sebelum saya mulai beraktivitas di organisasi yang salah satu fokusnya adalah mendukung upaya transisi dari penggunaan energi fosli ke energi bersih dan terbarukan.
Blackout yang melanda Jakarta hari itu sebenarnya kerap terjadi di permukiman di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok, dalam skala yang lebih kecil. Mati lampu mulai pukul 10.00 WIB hingga 15.00 WIB, atau di sekitar jam-jam tersebut di hari-hari kerja adalah hal biasa.
Yang lebih buruk dialami warga di desa-desa nun jauh dari Jakarta. Bagi mereka, setiap hari di jam-jam tertentu adalah ‘blackout permanen’, sebagaimana terjadi di Desa Sekerat, Bengalon, Kalimantan Timur. Saya mendengar cerita ini dari Iqbal Damanik, peneliti bidang tambang dan energi AURIGA Nusantara.
Warga setempat baru bisa menikmati listrik ketika genset milik desa beroperasi antara pukul 18.00-22.00 WITA. Sebelum dan selepas jam itu, warga seperti hidup di era sebelum ‘listrik masuk desa’. Sebuah anomali karena berjarak sekitar 1 kilometer dari desa, ada eksploitasi batu bara yang merupakan sumber energi terdepan pilihan pemerintah untuk pembangkit listrik.
Ah, tapi blog ini sebenarnya hanya pengantar saja. Saya ingin bilang, sudah lama saya tidak menulis artikel serius untuk media. Terakhir kali saya mengirimkan opini yang setelah saya baca berulang-ulang, agaknya lebih layak masuk keranjang sampah.
Jadi artikel opini saya dimuat di CNNIndonesia.com hari ini, dan diedit oleh Mas Nugi, salah seorang Redaktur Pelaksana CNN, saya senang sekali. Oh, opini saya tentu tak sebaik yang mungkin bisa ditulis oleh rekan-rekan dari organisasi lain. Tapi sebagai pendatang baru, saya tetap harus mengapresiasi upaya diri sendiri.
Terima kasih juga kepada kawan saya, Megiza, yang berkenan mengedit opini itu sebelum saya kirim ke redaksi. Teman yang berkenan menolong sesungguhnya adalah sebaik-baiknya rezeki, terutama dalam situasi saya pagi tadi.
Jadi, mari menyaksikan final Perancis Open 2019. Ada Jonathan Christie, Praveen Jordan/Melati Daeva Octavianty, dan Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo, yang akan bertanding di babak akhir gelaran super series 750. Semoga menang!