KOLOM yang ditulis Budiman Sudjatmiko membuat saya menemukan dan terinspirasi membuat judul blog ini. Budiman menulis opininya tentang sosok Soe Hok-gie untuk buku “Gie dan Surat-surat yang Tersembunyi”.
Budiman ini siapa? Tak sulit mencari informasi tentang Budiman. Secara pribadi, saya tak kenal. Selama saya menjadi pewarta, hanya sekali dua kali saya mengontaknya lewat sambungan telepon.
Pernah dari jauh melihat teman-teman saya sesama wartawan mengerubunginya untuk doorstop. Satu-satunya interaksi ‘langsung’ saya dengan Budiman adalah ketika sedang menyeruput es coklat di kedai kopi kenamaan asal Amerika Serikat di salah satu mal prestisius di Jakarta Selatan, awal Januari 2019.
Ketika itu, saya sedang bersama suami, dan dua orang yang salah satunya adalah kader pendatang baru salah satu partai politik. Melihat Budiman mengarah ke tempat kami duduk, si kader ini buru-buru berdiri sementara bagian tubuhnya bertabrakan dengan meja saking semangatnya. Saya yang posisi duduknya membelakangi arah Budiman datang, sampai kaget dan bingung kenapa orang ini tiba-tiba berdiri.
Tak lama kemudian, melintaslah Budiman. Si kader mengulurkan tangan dengan wajah semringah, “Halo Mas Budiman. Saya kader PDIP juga di xxx.”
“Oh, halo juga Mas. Apa kabar?”
“Alhamdulillah sehat. Mas Budiman apa kabar?”
“Oh iya saya juga baik. Wah, lagi nongkrong nih. Saya lanjut ya.”
“Silakan, Mas. Makasih ya, Mas Budiman.”
“Sama-sama, Mas. Mari ya semua,” kata Budiman, sambil mengangguk, tersenyum lebar, dan menatap kami satu per satu.
Selanjutnya, si kader membual tentang berapa banyak petinggi partai ini yang dia kenal. Saya tidak peduli, tak tertarik, dan tak mau dengar omong kosong yang berulang kali dia ceritakan. Tapi satu hal yang saya simpulkan, hanya kesimpulan selintas yang tak punya makna mendalam. Saya menilai Budiman sebagai orang yang menghargai orang lain. Sikap Budiman yang ramah, meski saya yakin 100 bahkan 1.000 persen, dia tak kenal kader ini.
Lalu hari ini, saya membaca kolom Budiman untuk Gie. Interaksi yang saya kategorikan sebagai komunikasi tak langsung. Budiman menyebut Gie sebagai orang humanis, yang bebas dari kebencian dan pembunuhan atas nama apapun. Yang mimpinya “tidak sesederhana yang sering kita dengar sebagai angan-angan normatif.”
Budiman juga menulis, “Dia memilih menggelutinya sebagai ide kebaikan dan keadilan yang sistemik untuk semua orang dalam tradisi Sosial Demokrasi.”
Membaca kolom Budiman Sudjatmiko itu, saya jadi merasa punya istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi saya hari ini: bukan angan-angan normatif. Karena ini bukan angan-angan normatiflah, maka pelaksanaannya tidak pernah sederhana, tidak pernah sesederhana angan-angan normatif.
Meski saya tak pernah berani, bahkan hampir mendekatinya pun tidak, bahwa apa yang saya kerjakan sama seperti yang dilakukan Gie. Hanya saja benar bahwa dalam banyak kesempatan, Gie adalah salah satu inspirasi saya, selain dan yang terutama almarhumah adik saya sendiri, serta ibu dan bapak.
Hal lain yang benar adalah kesimpulan saya selama ini bahwa “buku adalah teman setia, yang selalu terbuka, selalu menerima, dan selalu ada di sana ketika saya membutuhkannya.”
Saya kerap melarikan diri ke dalam rangkaian kata dalam buku. Ketika entah bagaimana, saya kesulitan menemukan cara membagi kekecewaan yang saya hadapi kepada siapa pun. Ini bukan tentang saya tak punya orang-orang yang bisa saya percaya. Ini hanya tentang saya yang tak menemukan kata-kata yang tepat untuk berbagi cerita, tanpa membuat kesimpulan yang menghakimi objek yang saya ceritakan.
Kadangkala, perbendaharaan kata yang saya miliki terlalu sedikit untuk bisa mewakili seluruh perasaan.
Menjelang Isya,
13 Januari 2020