Mentari untuk Denallie: Akhir yang Jadi Permulaan

Namanya Denallie. Saja. Jangan tanya artinya sekarang karena masih banyak kesempatan untuk mencari tahu tentangnya. Dena, panggilannya, belum pernah ke luar negeri dan gak punya rencana ke sana dalam waktu dekat. Jadi dia sama sekali gak risau dengan namanya yang cuma sekata.

Dena punya teman yang ditakdirkan bernasib sama: menyandang nama satu kata. Ketika diutus kantor untuk ke negeri orang, temannya yang bernama (hanya) Kendra memilih-milih nama siapa yang akan disematkan di belakang namanya. Jelas bukan nama pacar atau suami karena dia belum punya. Dan seperti sudah seharusnya, nama ayah dan kakeknya tercetak di paspor.

Tidak seperti Kendra yang ke sana ke mari, ingin menjelajah kota dan negeri seberang, Denallie punya keinginan ke Mekkah saja, dan yakin suatu saat nanti akan tiba gilirannya. Tapi saat ini, Dena di sini, bertahan dengan laki-laki yang kontribusinya sebatas menambah jumlah kata pada namanya. Kontribusi yang amat sangat gak dibutuhkan untuk ngejalanin hidup, sesederhana apapun hidup yang diimpikan.

Suatu hari ketika masih pacaran, Ardan Arfahmi, suaminya sekarang, bilang, “Nanti setelah kita nikah, kamu bisa pake nama belakang aku untuk bikin paspor.”

“Ke mana ya enaknya?” Denallie ingat dia menjawab sambil menerawang. Ngebayangin tempat-tempat yang akan dikunjungi bareng suami, mungkin dengan anak-anak. Entah dalam rangka bulan madu atau khusus menghabiskan waktu di tempat-tempat wisata.

Dan hari ini, dia juga ingat bahwa gak pernah sekali pun suaminya mengajaknya menghabiskan waktu di luar rumah. Tak usah jauh-jauh ke tempat yang butuh paspor apalagi visa, ke provinsi sebelah rumah aja sulit diharap. Hal ini juga berlaku kalau mudik lebaran. Gak ada mudik karena kedua orang tua tinggal di Jakarta.

Ketika Denallie berencana mengunjungi Simbah di Jawa Tengah, tempat dia dibesarkan dan menghabiskan satu tahun pertama masa SMA-nya,

“Kamu gak takut pergi sendiri kan?” Ardan menanggapi rencananya.

“Hah? Kenapa mesti takut?”

“Ya udah. Biar aku enggak usah ikut. Kan lumayan harga tiketnya. Mending ditabung.”

“Oke. Tapi ini bukan soal takut atau gak ya,” Denallie menimpali sambil berlalu.

Jadilah Dena ke Semarang seorang diri. Bapak, ibu, seorang kakak, dan dua adiknya juga gak ikut. Kedua orang tuanya sudah mudik lebih dulu beberapa waktu sebelumnya, sementara kakaknya gak bisa ngatur jadwal cuti yang sama dengan jadwal Dena. Dena senang pergi sendiri, meskipun kalau berdua Ardan mungkin akan lebih menyenangkan. Tapi gak ada hal yang perlu dibesar-besarkan karena toh, mereka memang butuh menabung untuk uang muka kredit pemilikan rumah.

Denallie kembali sibuk kerja. Kariernya sebagai pekerja hubungan masyarakat di sebuah agensi menguras konsentrasinya, yang membuat Dena tak terusik urusan domestik. Posisinya memang belum mentereng karena dia baru lulus kuliah tiga tahun lalu sebelum akhirnya memutuskan setuju dipinang Ardan. Tapi bos dan rekan-rekan kerjanya mengandalkannya.

Dena adalah teman kerja yang menyenangkan, tipe periang dan paling anti ngeluh. Sebaliknya, dia banyak ketawa, bareng Kendra, biasanya mereka ngetawain apa saja. Rantang jatuh berkelontang pun gak luput diketawain. Dia juga bukan jenis perempuan yang membesar-besarkan apalagi mengada-adakan persoalan, dan gak suka debat.

Termasuk ketika Ardan membuat pembagian belanja rumah tangga yang bikin kening Dena berkerut.

“Pengeluaran sehari-hari pake uang kamu ya. Gaji aku, aku tabung untuk DP KPR. Aku juga mau ganti motor soalnya,” kata Ardan.

“Oh gitu. Ya udah terserah kamu aja. Kita jadi mau beli sofa?” Dena menyahut dengan kerutan samar di dahi.

“Jadi kalau kamu udah gajian.”

“Udah. Ayo kalau mau beli. Sekarang juga gak apa-apa. Wiken ini temen-temenku mau dateng. Kan enak kalau udah ada sofa.”

Dan Denallie menghabiskan separuh gajinya memboyong sofa. Jangan tanya serumit apa pergumulannya sama Ardan sampai bisa tiba di meja kasir. Tapi bagi Dena, cekcok kecil urusan warna, kecocokan sofa dengan interior rumah kontrakannya, adalah hal biasa. Gak ada perasaan apapun selain senang karena akan menyambut sahabatnya dengan sofa baru.

Waktu berjalan cepat, usia pernikahannya di ujung bulan ke-12 ketika Denallie mengandung. Dia senang sekali. Tak menyangka dilimpahi rezeki secepat ini. Meski hatinya gegap gempita, Denallie agak cemas membayangkan mesti cuti kerja pascamelahirkan.

Dia memikirkan pekerjaannya, profesinya, dan teman sekerja. Semua hal yang sangat menggembirakan dalam hari-harinya. Tapi dia juga merasa, hari-hari baru sebagai seorang ibu pasti juga akan membuatnya bahagia. Ketika saatnya memeriksakan kandungan, Denallie tak mengeluh lantaran tak ditemani. Dia juga tak menyoalkan pergi pulang kerja sendiri seperti ketika belum hamil karena Ardan enggan menjemput.

“Aku jemput kan pake motor. Mending kamu naik taksi kan yang bisa reimburse ke kantor?”

“Iya sih. Tapi kadang kan pingin aja dijemput suami pas pulang kantor. Kamu belum pernah lho jemput aku lagi sejak kita nikah. Dulu pas pacaran lumayan sering,” Denallie menyahut santai.

“Iya memang. Cuma kan kamu tahu sendiri, jalur dari kantorku kalau ke kantor kamu tuh kayak bolak balik gitu. Malah lebih efisien kalau kita ketemu di rumah kan?”

Walau pun merasa janggal mendengar kata “efisien”, bukan Denallie kalau mendebat hal semacam itu. Efisien?! Ya ampun, Bang, kita mau bangun rumah tangga apa rumah komersial? Dena baru mendengar ada efisiensi dalam soal jemput menjemput istri, sesekali pula. Apa jadinya kalau perkara romantisme diukur dengan nilai-nilai efisiensi, efektivitas, dan sebangsanya. Aku ingin mencintaimu dengan efisien:(

Ah, biarlah. Bukankah segala sesuatu menjadi persoalan karena ada yang mempersoalkan? Kalau Dena tak menyoalkan itu, semua beres kan? Dan sekali lagi, Denallie memilih tidak memusingkan efisiensi Ardan. Lagipula dia jarang pulang sendiri. Ada Kendra, Feriza, Hanum, Prabowo, Lambok, banyak sekali temen sekerja yang bisa diajaknya pulang bareng. Perkara efisiensi itu berlalu tanpa dipanjang-panjangkan lagi.

Memasuki bulan keenam kandungannya, berita yang tak ingin didengar karyawan mana pun berjejalan di antara partisi-partisi meja kantor. Sejumlah manajer proyek dikabarkan dikabarkan mundur dan membawa serta sejumlah klien potensial (baca: yang selama ini berkontribusi besar terhadap pemasukan agensi). Perbedaan cara menangani krisis disebut-sebut menjadi musababnya.

Denallie tak bisa tidak resah. Bukan cuma karena salah satu klien yang diboyong adalah klien yang dia tangani. Bagaimana kelangsungan agensi ini? Nasib rekan sekerjanya, terutama yang sudah senior. Dia melihat ke seluruh sekat ruang kantor, melihat wajah-wajah yang tercekat, cemas, hanya mata-mata yang saling memandang penuh arti.

Tiba di rumah, dia mendapati Ardan sedang mengisap rokok di beranda rumah. Langsung saja dia menceritakan situasi di kantor hari itu sambil mengipas asap rokok agar tak mampir ke hidungnya. Calon bayinya!

“Kalau keganggu sama asapnya, mending masuk dulu deh. Nanti abis sebatang ini, aku susul,” Ardan tak mengomentari cerita genting Denallie.

“Memangnya enggak bisa dimatiin dulu ya rokoknya?” Denallie menjawab dan bangkit berdiri.

“Sayang udah dibeli,” Ardan menjawab sambil menatap layar ponsel. Tak hirau dengan wajah kesal Denallie.

Komentar soal kantor dijawab di dalam kamar, “Karena masalah di kantor, kamu enggak dipecat kan?”

“Dipecat karena?”

“Kamu bilang kan ada klien kamu yang juga dibawa. Jadi kerjaan kamu akan berkurang atau malah jadi enggak ada klien yang ditanganin?”

“Klien kantor aku bukan cuma tiga perusahaan itu aja, meskipun memang itu yang terbesar….”

“Terus nasib kamu di sana gimana?”

“Tadi nanya aku dipecat atau enggak. Sekarang nanya nasib aku. Komentar kamu itu aja?”

“Yah abis apa dong?”

“Enggak tahu. Aku juga enggak tahu akan dipecat atau enggak atau gimana nasib aku. Aku mau mandi.”

Denallie langsung mengguyur kepalanya dengan air sebanyak mungkin. Tak mau memikirkan komentar-komentar egois Ardan. Memangnya kalau dia dipecat lantas kenapa? Kalau Dena sudah tahu nasibnya pascakehebohan di kantor hari ini, bukankah itu yang pertama-tama akan dia ceritakan? Apa Ardan enggak peduli sama sekali tentang apa yang dia rasakan atas situasi ini? Persoalan perasaan pasti bukanlah sesuatu yang efisien jika ditanyakan.

Isu-isu berseliweran di kantor tanpa bisa dikonfirmasi. Para konsultan senior hampir setiap pagi mengadakan rapat, berlangsung lebih dari tiga jam, dan diakhiri dengan muka masam. Lambok, salah satu manager proyek yang beberapa kali disertakan dalam rapat, hanya sedikit sekali berbagi cerita.

“Bukan gue enggak mau cerita, Den, Ken. Karena semuanya memang masih belum pasti. Lebih banyak yang enggak jelas di rapat itu ketimbang yang jelasnya. Yang pasti, revenue kita terpuruk setelah kepergian tiga klien,” Lambok berujar sambil berusaha menelan makan paginya jam 2 siang itu.

“Sorry nih, Bok. Gue langsung aja. Jadi gimana nasib karyawan? Kita udah lama meyakinkan diri bahwa kita bisa baik-baik aja karena situasi ini. Tapi sekarang gue butuh yang konkret aja. Udah lebih dari tiga minggu gonjang ganjing gini dan enggak ada satu pun informasi yang jelas tent….” Kendra menyahut dan dipotong.

“Karena memang enggak jelas, Ken. Belum ada skema yang bisa diterima semua orang yang bisa memastikan kepentingan para karyawan terfasilitasi.”

“Kepentingan karyawan yang kayak gimana, Bok?” Denallie mengelus-elus perutnya yang terus membesar.

“Aduh, ini ibu hamil. Ya semua kepentingan karyawanlah. Gaji, tunjangan, reimburse, operasional kantor, bla bla bla.”

“Oke kalau gitu. Satu pertanyaan sederhana. Tanpa tiga klien itu, berapa lama uang kita bisa bertahan dengan tetap bayar gaji 37 orang karyawan?” Dena belum menyerah.

“Nah, itu susah gue jawabnya. Yang jelas kita struggle.”

Struggle apaan, Bok? Enggak jelas bahasa lo,” Kendra terus memburu.

“Udah ah, gue capek ngurusin dua perempuan kayak lo berdua. Gue gak pernah sarapan enak sejak ada masalah ini. Giliran gue mau makan siang juga masih diteror. Yang jelas, kita sedang berusaha bertahan dan terus berjalan,” Lambok menutup percakapan dan membawa serta piring makannya ke sudut kantin gedung.

Lewat dua bulan setelah tragedi pecah kongsi itu, bisik-bisik di kantor mulai mereda. Rapat-rapat pagi para konsultan senior dan manajernya jauh berkurang. Kasak-kusuk hampir tak lagi terdengar, terutama karena operasional kantor berjalan seperti biasa, gaji ditransfer utuh, tunjangan tetap sesuai kinerja, reimbursement dibayar penuh, asuransi kesehatan disetujui sesuai plafon.

Hingga ketika Denallie mengajukan cuti melahirkan saat memasuki bulan kesembilan kehamilan, dia diberi tahu dampak dari huru-hara dua bulan ini.

“Jatah cuti melahirkan kamu tiga bulan kan, Denallie. Selama tiga bulan, kamu tetap nerima gaji penuh, termasuk tunjangan. Asuransi melahirkan kamu juga bisa kamu cairkan sesuai prosedur. Tapi agensi terpaksa memperpanjang cuti kamu sampai bulan keenam setelah melahirkan dengan hanya membayar gaji pokok, tanpa tunjangan. Di bulan kelima, kami akan informasikan ke kamu, apakah kamu bisa kembali kerja di bulan ketujuh. Kalau bisa, dengan catatan keuangan kantor sudah stabil, kamu akan kerja seperti biasa. Tapi kalau enggak, kami terpaksa merumahkan kamu selamanya dengan perhitungan pesangon sesuai Undang-undang Tenaga Kerja.”

Denallie hanya menarik napas panjang. Entah bagaimana dia sudah merasa bahwa kehamilannya yang berbarengan dengan ketidakstabilan kantor akan berakhir dengan kemungkinan seperti yang baru saja dia dengar. Dena pernah membayangkan ini. Tapi mendengar sendiri sesuatu yang dikhawatirkan menjadi kenyataan, kekuatan mentalnya runtuh juga. Hingga beberapa waktu kemudian, dia tak bereaksi apa-apa kecuali menatap keliling ruang HRD.

“Berat banget buat saya menyampaikan ini ke kamu, Dena,” Pak Asrul bersuara rendah.

“Iya, Pak. Saya ngerti. Apa pertimbangannya Pak sampai saya yang dirumahkan? Apa karena saya hamil? Dan sulit buat kantor meladeni urusan ibu yang baru punya anak?” Denallie tak kuasa menanyakan sesuatu yang sudah menghantui kepalanya selama ini.

“Bukan, Dena. Ini bukan tentang itu. Semua karyawan yang selevel sama kamu akan diinformasikan semua dalam pekan ini. Hamil atau pun enggak. Perempuan dan laki-laki. Bahkan, departemen yang saya pimpin ini enggak akan ada lagi per akhir bulan ini. Hanya menyisakan seluruh konsultan senior dan beberapa manajer dengan kinerja teratas sesuai penilaian tahun lalu.”

Air mata Denallie menghambur keluar tanpa bisa ditahan lagi. Pak Asrul memandanginya dengan tatapan kebapakan.

0 Shares

7 responses

  1. Semua orang sepertinya sepakat ya kalau kita jadi benar-benar tau tentang pasangan kita saat sudah menikah. Nah, perangainya Ardan menjadi data untuk bikin penemuan baru: “teknik melucuti keaslian watak dan kebiasaan pasangan kita sebelum menikah”. Supaya, kalau pun dalam pernikahan itu dibumbui berbagai permasalahan, kita nggak capek amat lah ngadepinnya, atau biar kita nggak ketipu. Hih gemes.

    Lalu aku kebayang gimana reaksi Ardan saat tau nasib karir istrinya yang di ujung tanduk. Agak ngeri kayaknya. Semoga nggak berakhir KDRT atau perselingkuhan.

    Cerita yang benar-benar “hidup”.

  2. Karakter Ardan nya kok ngegemesin sih, gemes pengen cubit pake tang, ha ha ha. Logis sih alasannya tapi perempuan kan kadang pengen dimanja, sewonder women apapun dia. Real banget ceritanya, berasa lagi denger temen curhat, atau gw sendiri ya cerita, he he. Gak sabar baca lanjutannya, terlebih penasaran apa biaya lahiran juga kudu istrinya yg bayar sendiri,ha ha ha. Sukses ya Kandi.

Leave a Reply to Santi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *