Bulan Agustus enam tahun lalu, kami agak cemas karena belum punya tiket untuk menonton perempat final individu Asian Games yang dinilai sukses diadakan di Jakarta. Kami nggak kebagian tiket perempat final, tapi sudah mengamankan tiket semifinal dan finalnya.
Sepanjang pekan kami bertukar kabar sambil tetap berkelakar. Menertawai diri sendiri tentang betapa nelangsa tidak punya tiket untuk nonton. Mencari kemungkinan-kemungkinan bisa dapet tiket, sampai-sampai: yuk, beli ke calo deh kalo mentok. Gimana?
Saya mengiyakan karena: mumpung perhelatan olahraga se-Asia empat tahunan ini dihelat di Jakarta. Kapan lagi?
H-1 pelaksanaan, ketika mulai kalut karena belum ada jalan keluar, saya menerima telepon: kita dapet tiket!
“DARI MANA?!!?!” nggak bisa nahan intonasi suara saking girangnya.
“Temen gue nggak pake tiketnya, dia ngasih gue dua. Buat kita.”
“Oke, gue transfer ke mana? Berapa?” Saat itu kami sudah sepakat untuk bayar berapa saja yang penting bisa ngistora saat perempat final! Berapa saja ini bukan berarti dua juta per tiket, lho, ya. Satu koma sembilanlah maksimal :p
“Nggak usah bayar. Kata temen gue, buat kita….” Saya yakin, temannya memberi untuk dia, bukan untuk “kita” yang ada saya di dalamnya.
Jangan tanya gimana perasaan saya saat itu karena terlalu jelas. Saat nerima telepon itu saya sedang di KRL arah Citayam menuju Jakarta. Rasanya pengin teriak dan jingkrak-jingkrak, tapi khawatir mengganggu ketertiban umum.
Jadi ketika Ferial Thalib, teman baik yang memberi saya tiket cuma-cuma perempat final AG 2018 itu nggak nonton pertandingan Indonesia Masters 2023 (Januari), saya khawatir: ada apa? Sebab, dia absen juga di Indonesia Open 2022 (Juni), padahal beberapa kali saya tawari tiket cuma-cuma yang juga saya dapatkan tanpa beli.
Sejak saat itu, saya makin sering ngajak Fe ketemu. Berbagai alasan saya cari: kongkow—yang sebenarnya nggak perlu alasan; nagih janji nganter ganti tali jam di Tanah Baru, ngajak bareng ke Taiwan karena kami pernah berwacana menjajal street food di sana; nanyain kerjaan; ngajak makan-makan yang alasannya saya cari-cari.
Seringkali, ajakan itu diabaikan: nggak dibalas sama sekali atau dibalas dengan, “Lain kali ya.”
Perasaan saya makin tak karuan ketika bulan Juni 2023 Fe sekali lagi nggak ngistora. Tiga kali berturut-turut? Ini bukan Ferial. Mendorong saya semakin intens ngirim WA, ngajak ketemu.
“Gue juga mau kayak dulu, ngobrol-ngobrol, pulang malem. Tapi sekarang belum bisa pulang malem. Nanti yah kalo gue udah lebih sehat.”
“Lo sakit apa, Fe?” :'(
“Nanti gue ceritain.”
“Cepet sembuh yaa… Kabarin aja kalo ada yang bisa gue bantu.”
Lalu tanggal 4 Juli 2023, untuk pertama kalinya sejak bulan Mei 2022, ajakan kongkow itu bersambut. Jawaban iya yang mengejutkan sekaligus melegakan. Lega, karena akhirnya Fe mau ketemu setelah sekian lama.
Dan keterkejutan saya ternyata berlanjut sampai keesokan hari, tanggal kami janjian. Di lobi mall di kawasan Kuningan, saya hampir nggak bisa menguasai diri. Ferial jelas rapuh. Kondisi fisik menjelaskan segalanya, sampai ciut mental saya untuk sekadar tanya: apa kabar? Karena itu pertanyaan konyol, Fe jelas nggak baik-baik saja.
“Maaf Fe lo yang duluan sampe,” akhirnya saya buka suara.
“Gak apa-apa, Kandi. Yuk makan, gue laper.”
Saya merasa teramat sangat lara, tapi tak kuasa menunjukkan mimik wajah yang menggambarkan perasaan itu. Berkali-kali saya berpaling— bukan karena nggak senang berjalan beriringan dengan tubuh lemah Fe— tapi untuk menahan panas di pelupuk mata biar nggak berhamburan.
Nggak pengin Fe merasa dikasihani karena entah bagaimana, saya punya perasaan bahwa dia mengharapkan saya menunjukkan wajah biasa, seperti hari-hari kami yang biasa ketika berjumpa dalam kondisi biasa. Butuh waktu lama bagi Fe menaiki eskalator: pemandangan yang sekali lagi sangat menyesakkan. Ketika menggapai handrail, saya lihat tangannya gemetar. Fe bahkan kesulitan mengendalikan sumpit untuk menyuap sepotong sushi; sementara saya kesulitan menelan makanan yang saya jejalkan paksa.
Saya berusaha menghabiskan makanan pesanan kami hari itu hanya untuk menghindari pertanyaan yang berkali-kali dia lontarkan, “Kok lo nggak makan? Makan lo sedikit banget, Kandi. Makan ini juga nih, enak, cobain,” Fe mendorong-dorong piring di hadapannya agar terjangkau tanganku yang dingin. Lima Juli, jadi hari yang sungguh berat meski sangat singkat.
Dalam dua jam pertemuan hari itu, ada waktu ketika Fe bilang dia sakit. Ketika saya tanya, sakit apa dan gimana cerita sakitnya, matanya basah, dan dia mulai sesenggukan.
“Nanti gue ceritain lengkap,” katanya sambil mengakhiri ceritanya yang nggak utuh. Dan saya ingat kalimat-kalimat serupa juga dia sampaikan dalam banyak kesempatan obrolan kami. Ceritanya yang sepotong-sepotong tentang banyak hal selalu berujung pada kalimat pamungkas itu: nanti gue ceritain. Dengan karakter saya yang nggak suka mendesak orang bercerita, saya mengiyakan sambil bilang bahwa dia bisa WA kapan saja dia butuh—ucapan yang membuat Fe kembali berurai air mata.
Hari itu adalah pertemuan tersingkat (kedua) sepanjang kami menekuni dunia kerja. Kami satu angkatan, satu jurusan, di Kampus Tercinta. Di kampus, relasi kami biasa, sesekali saling sapa atau bicara tentang hal ringan. Bertemu lagi saat sama-sama diterima sebagai Calon Reporter (CR) di Koran SINDO dan berlanjut hingga sekarang.
Tapi, nggak ada lagi masa sekarang atau nanti. Karena pada akhirnya saya tahu, Fe memutuskan untuk nggak bercerita sampai akhir waktunya. Kalau Fe memilih membawa apapun cerita yang tak pernah tersampaikan itu hingga ke pusaranya, saya menghargai pilihannya meski dengan hati duka.
Jadi, Fe sakit apa? Saya akan berhenti bertanya dan memilih untuk nggak menjawab pertanyaan serupa. Fe memutuskan jalan ceritanya sendiri, dan yang bisa saya lakukan hanya mendoakan agar jalannya dilapangkan menuju Tuhannya.
Minggu, 13 Agustus 2023, jadi pertemuan paling singkat. Fe terkulai di ranjang rumah sakit dengan alat medis menempel di sekujur tubuhnya. Saya mengajaknya ngobrol, yang dibalas dengan kedipan mata dan anggukan yang susah payah. Sekali lagi, saya kehilangan teman menonton badminton. Selamanya….
Alfatihah untuk Fe🥺
Sedih baca ceritanya