Curiga. Itu yang belakangan kerap aku lakukan terhadap orang asing. Aku mencurigai mereka jika akan menyebut namaku, mengenalkan diriku, atau menjawab pertanyaan apa pun yang mengandung huruf “D”. Awalnya, aku tak separanoid itu, tapi hari-hari ini aku makin yakin bahwa memang ada yang “salah” dengan huruf itu. Meski aku lebih banyak menertawai diriku sendiri atas “kekurangan” itu, tapi tak jarang juga menyesali itu. Namun sebenarnya, yang lebih aku sesalkan ialah mengenal seorang teman yang akhirnya menemukan “D” itu.
Laki-laki dengan perawakan kurus, tinggi, berkulit gelap, dengan wajah yang selalu menertawaiku itulah yang sudah membuat aku minder untuk menyebut namaku sendiri. Seperti siang tadi, saat aku pergi mencuci cetak foto pesanan kakak sepupuku di Fuji Film, Jalan Raya Pasar Minggu.
“Berapa semuanya, Mas?” tanyaku kepada penjaga yang mengurus cetak fotoku.
“Rp63.500. Ke kasir ya, Mbak. Ini atas nama siapa?” sambungnya.
“Kandi,” singkatku yakin.
“Siapa?” tanyanya kalem.
“Kandi,” kataku masih santai.
Lalu dengan kepercayaan diri yang utuh dia menulis sebuah nama di atas amplop tempat foto “K.A.N.C.I”. Yang aku tangkap, wajahnya tersenyum penuh kemenangan. Seperti orang yang terlepas dari sebuah ambiguitas yang menyesatkan. Dan, perutku mulai mual, antara ingin tertawa, dan kesal mengingat wajah temanku yang dulu bertugas di tempat yang sama denganku, di Rasuna Said. Karena dialah yang menyebabkan semua ini. Yang dengan sengaja dan bahagia menemukan huruf sialan itu, huruf “D” yang akan kacau kalau aku yang melafazkannya.
“Kandi, Mas. Kandi. K-A-N-D-I. Delta, delta (maksudku untuk huruf D),” ucapku mulai lemah.
Si penjaga mendongak ke arahku dengan wajah kebingungan, “Delta?”
“Iya, delta untuk huruf D. Jadi, K.A.N.D.I….”
“Ooh.. Maaf,” sambutnya.
Nama K.A.N.C.I itu pun dicoret dan diganti sambil tersenyum, seperti mengejek. Setelah itu, si penjaga kembali tersenyum dan aku tak bisa tak mencurigai senyumnya. Sial. Karena itu adalah senyum yang sama dengan senyum seorang jurnalis dari sebuah stasiun televisi swasta saat aku menyebut “Sanggar Roda”. Sebuah sanggar yang berisi kumpulan anak jalanan yang salah satu aktivitasnya bermain musik. Saat itu mereka turut memperingati Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember 2009, di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan melakukan pentas pada malam hari.
Sejumlah jurnalis meliput di sana. Aku kebetulan ikut menyaksikan Sanggar Roda bermain. Aku ingat, vokalisnya bernama Gendis. Seorang remaja perempuan yang sangat berbakat. Dia sedang mengikuti lomba akustik yang diadakan oleh Universitas Indonesia (UI), kalau tak salah. Karena tabuhan drum, gitar, gendang, serta kendaraan bermotor di Jalan Rasuna Said itu, kita harus berteriak jika ingin berbicara.
“Band ini dari mana, Mbak?” tanya seorang jurnalis kepadaku sambil berteriak.
“Sanggar Roda,” teriakku.
“APA?” sambungnya tak kalah melengking. Telinganya didekatkan ke arahku.
“SANGGAR RODA,” jeritku.
Dan, tampangnya itu yang membuatku merasa harus curiga. Apalagi, setelah itu dia kembali bertanya. Wajahnya bingung, tapi seperti mengejek. Ah, pasti huruf D ini lagi. Dia sudah sering mempermalukanku. Sementara seorang temanku, sudah terpingkal-pingkal di sampingku. Dia menyaksikan aku dibodohi oleh huruf “D” yang aku rapal sendiri. Setelah ku jawab ketiga kalinya, baru si jurnalis mengangguk-angguk sambil tersenyum menatapku, senyum yang patut aku curigai.
*Oke, huruf D, bisakah kau berdamai denganku? Aku terlalu lelah menertawakan diriku sendiri akhir-akhir ini*
****
“Berapa (harga) makanan saya, Pak?” tanyaku di kedai makan siang
“Apa aja tadi makannya?” tanya si penjual.
“Gado-gado dua,” singkatku. Dan, si Bapak bertanya sebanyak tiga kali untuk meyakinkan pendengaran
nya sendiri, sekaligus menegaskan padaku bahwa “D” itu musuhku.
****
kali ini bkan hruf D yg brmsalah, tpi para hruf vokal. Nama adik saya Gandes, bkan Gendis mbak. Hehe. Salam hangat dr Sanggar RODA.
Hai, Gandes,,, duuuwwwhhh… Maafffff…. Kakaknya ya… Waktu itu, berisik banget, jd mohon dimaafkan jika pendengaranku bermasalah.. Hahahah (ngelesdotcom)… Kaget aku, kamu ikutan baca
Gmn ceritanya bisa sampe ke sini?? Heheheh…
Btw, gmn hasil adikmu di UI waktu itu? Bener gak di UI? Hehehhe…