AKU tak pernah hapal jalan menuju rumahnya (dan aku menyesali fakta ini). Karena jika aku ke sana, selalu dijemput dan pulang diantar. Hingga hari ini pun, ada orang lain yang menggantikan dia menjemputku jika aku ke rumahnya, entah tunangannya atau temanku yang seorang lagi. Malam itu pun, secara kebetulan, kami punya waktu untuk bertandang ke rumahnya. Tapi, tentu tak bisa bertemu dia, hanya ibu, bapak, adik laki-lakinya, tunangannya, dan keponakannya.
Lama juga aku tak mampir ke sana. Rumah itu lebih sepi sekarang. Karena kakak pertamanya, sudah tak lagi tinggal di sana. Kasian Ibu, rumah itu semakin kosong. Aku merasakan kesedihan itu saat Ibu kembali bercerita tentang hari-hari tanpa putra ketiganya. Aku kira, aku paham, karena aku pernah ada di sana. Biar saja, ku dengar cerita itu hingga akhirnya kami pamit setelah malam berganti hari.
Laju motor yang kunaiki tak sekencang angin dini hari itu. Mungkin yang membawa motor juga sedang mengumpulkan memorinya tentang tempat-tempat yang kami lewati. Biasanya bertiga. Sekarang juga tetap bertiga, tapi sosok dia digantikan oleh tunangannya yang tak lama lagi akan meninggalkan kota ini dan menetap di Solo. Ngilu juga membayangkan akan ada “perpisahan” (lagi). Tapi skenario hidup ini memang hanya sesederhana itu. Datang dan pergi, bertemu dan berpisah. Yang (hanya) jika sedang waras aku bisa memahfumi itu.
Aku merasakan lagi persahabatan sederhana ini ketika melewati Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran. Malam. Memang selalu malam hari kami bertemu, terutama sejak kami meninggalkan kampus dan mulai bekerja profesional. Di jalan itu, dia suka sekali mengunyah Ketan Susu. Makanan sederhana, disajikan hangat, tapi aku lupa bentuknya. Hmmm.. aku, jujur saja, tak suka. Tapi aku suka tempatnya, di pinggir jalan, dan aku suka dengan orang yang bersamaku.
Karena aku menyukainya, maka aku juga menyukai orang-orang terdekatnya. Keluarganya, tunangannya, siapapun. Aku juga merasakan kehilangan yang sama seperti mereka. Tak tahu seberapa besar rasa kehilangan itu, mungkin keluarga dan kekasihnya yang lebih perih. Tapi aku kira, aku juga seperih itu. Aku menyebutnya, ngilu. Hahhahh… Dia hapal sekali kalau aku sudah menyebut kata itu.
“Yah, lo kenapa? Jangan nangis, ya. Kalo gue ada di situ siy gpp,” katanya suatu kali dari ujung telepon.
Dan, aku mengiyakan. Aku kira dia termasuk orang yang pandai menenangkan orang lain. Tak banyak bicara, konsisten, moralis, perasa, tenang, tak suka melanggar, tak merokok, pendegar yang baik, tak suka mengeluh, dan humoris. Dia bisa dengan cepat mengeluarkan air mata jika saat kami makan dia melihat pengemis. Kadang aku mengejeknya. Antara terkejut dan haru melihat laki-laki yang begitu mudah menangis melihat kemelaratan orang lain. Di lain kesempatan, dia selalu bisa menghidupkan suasana dengan tingkah dan celetukan konyolnya. Suatu hari dia berbicara serius tentang hidup, tentang hal yang menghimpitnya, dan tentang kerisauannya.
Aku yakin, dia bahagia di sana. Setelah meninggalkan begitu banyak kebaikan dan pelajaran untukku, dan terutama untuk keluarga, kekasih, dan teman karibnya yang lain. Dan perpisahan, tak selalu harus diakhiri dengan kesedihan (lagi waras).
*Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta
Selasa malam hingga Rabu dini hari, 5 Januari 2009