April 1987

April 1987

Beberapa hari lagi, tepatnya tanggal 4 di bulan dan tahun itu, seorang ibu melahirkan seorang bayi kecil. Anak ini, menjadi yang paling berpunya di antara keempat saudara kandungnya. Jika yang lain hanya mendapat seratus rupiah untuk jajan, maka dia mendapat lima ratus rupiah. Dia juga paling manja. Kepada setiap orang yang lewat di muka rumahnya, tak akan sungkan dia bilang, “Gendong dong. Ini taen (masih belum sempurna untuk menyebut “kain” panjang untuk menggendong balita)”.

Di sekolah, tak pernah tak menangis saat masih mengenakan seragam merah putih. Menangis jika diganggu teman. Adik lelaki kecilnya, sigap membela sang kakak dan itu membuat dia senang. Sepulang sekolah, dia akan berdiam diri di rumah, mengepel lantai, mencuci piring. Dia paling anti jika kaca jendela rumah dan cermin besar di kamar kami kotor. Jadi, jangan harap bisa menyentuh cermin atau kaca jendela dengan tangan jika tak ingin dilempar kemoceng. Dia juga bermain, kelereng, kasti, batu tujuh, tabrak gunung, lompat karet.

Kami juga bersepeda. Keliling sekolah, kelurahan, Komplek Polri, Komplek DPR RI, Kampus Stekpi, Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan kecamatan (….). Kami membuat bola dari getah karet di TMP Kalibata setiap habis Subuh di hari Ramadan. Kami puasa, dan menghabiskan waktu ngabuburit di mall, main monopoli, dan membaca komik Petruk karya Tatang S. Di mall juga kami mandi bola, membeli permen murah, buah anggur, dan menyisihkan uang untuk jajan di depan mesjid saat salat Tarawih.

Saat di SMP, dia punya teman baik. Anak anggota dewan di dekat rumah. Temannya tak sebanyak teman kakaknya. Dia nampak memutuskan begitu, tak ingin banyak berurusan dengan orang-orang lain. Dia betah di rumah, dan tak akan pergi jika tak penting. Ketika lulus SMP dan NEM-nya tak cukup untuk masuk ke sebuah sekolah negeri, seluruh anggota keluarga panik. Mencari sekolah untuk anak rumahan dan manja ini. Hingga akhirnya, SMU Muhammadiyah 4, Dewi Sartika, Jakarta Timur, menjadi pilihan. Alasannya, “Biar dekat dari rumah.” Dia tak akan dibiarkan pergi jauh tanpa diantar dan dia tak suka pergi jauh. Sahabatnya sedari lahir (termasuk teman SD dan SMP), bersekolah di tempat yang sama.

Seorang teman laki-laki yang satu sekolah pernah bercerita, “Dia parah banget, Kak. Kerjaannya nyeletukin guru melulu, gak pernah ngerjain PR, suka kabur kalo lagi pelajaran ke-muhammadiyah-an, bla.. bla.. bla..,” Lagi-lagi, dia memilih dalam hidupnya; sekolah tak perlu serius, yang penting jadi orang baik yang konsisten. Saya tahu, dia konsisten! Banyak hal!

Matanya berair melihat pengemis yang pucat kelaparan, di satu sisi, dia punya mulut yang jahat pada laki-laki yang suka menggodanya. Pernah pada hari kelima Lebaran, sepulang kami menginap di rumah Om di bilangan Cinere, Jawa Barat, dia melihat kakek tua penjual boneka. Di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tepat di depan Ramayana/Robinson. Wajah si kakek hitam dengan kedua mata lelah terlihat jelas. Napasnya pendek, pakaian lusuh, duduk lunglai melihat dagangan yang tak kunjung terjual. Dia terdiam kaku sebelum melangkah gontai mengikuti langkah kaki Mama yang sangat cepat.

Tak berapa lama dia berhenti dan menarik tanganku. Kami kembali ke penjual boneka. Dengan suara parau menahan tangis, dia bertanya, “Berapa harga boneka ini, Kek?” Wajahnya dipaksakan untuk tersenyum. Aku lupa jumlah rupiah yang disebut sang kakek. Tapi aku ingat betul dia mengeluarkan jumlah yang lebih dari harga boneka Winnie The Pooh itu. Maklum, jika Lebaran, dia sangat kaya raya. Sang kakek bilang, “Kebanyakan, De.” Dia hanya tersenyum dan cepat berlalu, meninggalkanku yang masih terpaku. Kelak, setelah bisa menghasilkan uang sendiri, membeli boneka adalah hal yang akan selalu aku lakukan pada setiap 4 April, sebagai hadiah untuk dia.

Dia tak tertarik pada sekolah dan belajar akademik. Tapi, dia memang tak perlu sekolah untuk mengedepankan moral dan hatinya ketika melihat kesulitan orang lain. Dia punya banyak alasan untuk tak pergi ke sekolah, tapi dia tak pernah punya satu alasan pun untuk abai pada orang kelaparan. Dia mendapat beberapa angka merah di rapornya. Sebaliknya, nilai baik selalu dia sandang di rumah karena pandai memasak, membersihkan rumah, menemani Mama ke pasar, mencuci dan menyetrika baju sendiri, dan menyiapkan makan malam untuk semua orang di rumah.

Kepalanya peyang, bibirnya tipis, rambutnya lurus, alis matanya bagus, cantik, dan sedikit judes. Kulit tangannya halus, kuku terawat, dan semua pakaiannya bermerek alias mahal. Tidak ada tempat di lemarinya untuk baju dan celana tak bermerek. Dia tumbuh menjadi gadis manis yang patuh dan tak pernah bertingkah aneh di luar rumah. Ya, kecuali maniaknya terhadap baju dan celana bermerek itu.

Juni 2007

Semua orang telah membujuknya untuk kuliah. Aku tahu, dia enggan. Tapi aku juga tahu, dia tak kuasa menolak keinginan Mama agar semua anaknya beroleh gelar sarjana. Akhirnya, semua orang memikirkan jurusan yang cocok untuknya. Dia sendiri, tak berpikir. Malah sibuk mengurus lamaran kerja untuk anak lulusan SMA. Sampai akhirnya, Kampus Uhamka Jakarta, Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Inggris, menjadi pilihannya.

Mei 2008

Dia mulai mengendarai sepeda motor ke kampus. Mulai aktif di kegiatan kemahasiswaan, atas keinginannya sendiri. “Biar punya banyak ID Card jadi panitia ini itu kayak yang elo punya,” kata dia beralasan. “Nanti, entah kapan, ID gue akan lebih banyak dari elo.”

Di jendela kamar kami, ada paku di sisi kiri dan kanan. Sisi kanan adalah milikku, tempat aku menggantung semua ID Card setiap kegiatan kampus. Sisi kiri, kosong! Pemiliknya, tak pernah menggantung apa pun di situ hingga akhirnya, “Gue akan gantung apa pun nanti di paku itu (tersenyum).” Matanya, begitu meyakinkan aku bahwa dia akan memiliki kartu demi kartu kepanitiaan kegiatan kampus.

Aku hanya tersenyum saja menyaksikan euforia dia menjalani perkuliahan. Sesekali dia bercerita tentang rapat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Lebih sering dia kesal, “Ah, aktivis siyal! Gue udah nunggu, Kak. Katanya rapat jam 1, sampe jam 2 gue tunggu gak mulai-mulai! Gue main aja ke Blok M dan gak ikut rapat.” Ya, dia tak pernah bisa menerima jika ada yang datang terlambat, tak menepati janji, dan hanya membual alias banyak omong. Harus diakui, sebagai orang yang mengaku aktivis, justru melakukan hal-hal itu.

Sabtu, 13 September 2008

Gadis kecil ini dipanggil menghadap Tuhannya. Dia dimakamkan tepat di sisi Kecamatan Pancoran, tempat kami biasa bermain sepeda dulu. Pada paku di sisi kiri itu hanya sempat digantung sebuah ID Card dia sebagai peserta pelantikan anggota baru IMM Kampus UHAMKA, Kebayoran Baru. Dia belum sempat menggantung lebih banyak lagi, sesuai keinginannya. Boneka Winnie The Pooh itu masih setia di tempat tidurnya. Warna kuningnya mulai memudar, meksi aku yakin, kebaikan dia pada sang kakek tak akan pudar. Meninggalkan banyak cerita sederhana yang berarti begitu besar. Menyisakan kesyukuran karena dia pergi di hari dan bulan baik. Amiin. Semoga Allah menerima amal dan ibadah kamu. Amiin.

Ahad siang, 14 September 2008

Pacar gadis kecil itu bertutur kepadaku….

“Jangan banyak-banyak makan sambel, Lis,” katanya kepada kekasihnya, Lilis Rahmawati. Mereka sedang menikmati bakso di pinggir jalan. Laki-laki ini tahu betul, kekasihnya yang lahir pada 4 April 1987 ini sangat suka makan bakso.

“Gak apa-apa, kok. Ini yang terakhir,” Lilis menjawab, dengan nada biasa dan tersenyum.

“Aku gak tau kalo itu bener-bener hari terakhir Lilis makan bakso, Kak. Bener-bener yang terakhir….” Dan, suasana kembali hening. Aku hanya mendengar isak tertahan dari laki-laki di depanku, kekasih adikku.

*Hingga aku telah kehilangan kata dan nyawa, baru aku berhenti….*

0 Shares

2 responses

  1. Masa lalu memang sulit dilupakan ya…apalagi ada kenangan indah di sana…kenangan tentang adik kecil yang teramat di sayang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *