Aku lihat kamu di sana kemarin malam. Masih seperti kamu yang aku kenal beberapa tahun yang lalu. Tak ada yang berubah, termasuk karakter kamu yang tak pernah bosan aku nikmati: pendiam dan tak banyak menuntut! Aku secara tak sengaja ke tempat itu karena beberapa kawan baikku kerap menghabiskan waktu di sana. Kawan baikku sekarang, yang belum sempat kamu kenal. Kita hanya tak sengaja bertemu, tapi ada kesengajaan yang ku buat ketika aku melewati meja tempat kamu duduk saat menunju toilet. Aku hanya ingin melihat kamu dari dekat.
Ternyata, kamu lebih gila lagi: menunggu aku di pintu keluar toilet perempuan. Kamu, masih saja seperti itu: melakukan hal-hal tak terduga yang aku tak pernah bisa menebak. Bahkan, sampai hubungan kita berakhir, aku belum pernah selalu tepat menebak apa yang akan kamu lakukan dan berikan kepadaku. Kamu, selalu punya hal yang istimewa. Termasuk ketika aku tanya, kenapa kamu berdiri di situ dengan resah. “Aku lagi mikirin alasan bohong apa yang harus aku bilang kalau kamu tanya. Tapi, belum selesai meramu kalimat, kamu dengan tiba-tiba keluar dari sana dan aku tak punya kalimat pembuka untuk berbohong. Aku sengaja nunggu kamu.”
Ya, dan akhirnya terjadilah. Kita berjalan di tempat yang dulu sering kita lalui. Kamu melangkah pelan di pinggir trotoar, dan aku berusaha mengimbangi langkah panjang kamu. Menikmati cerita-cerita lucu dan segar yang keluar dari mulut kamu, tanpa henti. Kalau sudah begini, kamu yang lebih banyak bicara ketimbang aku. Bicaralah terus, aku sedang tak ingin berkata. Hanya ingin menikmati angin dingin bersama suara kamu. Sebelum pukul 21.00, aku tahu aku harus pergi. Ada keengganan berpisah dengan kamu, tak tahu bagaimana dengan kamu.
“Penting banget ya urusan kamu malam ini?” tanya kamu pelan.
Aku hanya mengangguk tanpa berani menatap ke dalam mata kamu. Kamu selalu awas, dan percaya bahwa mata lebih bisa menyampaikan kejujuran ketimbang lisan. Aku sering mengelak bicara lewat mata, karena tahu, kamu selalu bisa membuatku mengatakan apa pun yang sebenarnya.
“Aku anter, gimana? Aman, kok,” katamu tertawa.
Aku ingin mengangguk, tapi tahu ini akan berakibat panjang. Kita akan kembali berurusan dan berujung pada rasa yang tak kita inginkan. Aku kembali menggeleng dengan kuat, dan berlalu tanpa menoleh. Melepaskan jemari tangan kamu yang dingin dibelai angin malam. Hanya hembusan napas panjang dan berat yang aku dengar ketika kamu mengiyakan kepergianku.
*Tak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan. Aku tahu itu.*