Judul itu aku pilih untuk mengganti kata “aneh” atas apa yang baru saja terjadi. Aku lapar dan memaksa seorang teman untuk menemani makan. Jarum jam menunjuk ke angka 9 malam. Niatnya, di ayam goreng Surabaya, persis di bawah Stasiun Gondang Dia. Tapi, belum juga kaki kami menuruni anak tangga dari lantai dua kantorku, seorang teman, fotografer, mengajak makan di Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih. Sambil turun ke lantai 1, aku masih menimbang-nimbang menerima ajakan melahap nasi goreng itu atau tidak.
Aku ingat, seorang teman wartawan di tempatku bertugas pernah bilang bahwa Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih itu enak. “Kamu harus coba, Ndi,” begitu katanya. Malah dia terkejut karena hampir tiga tahun aku menghuni Kebon Sirih, tapi belum pernah merasakan nasi goreng itu. Sampai di muka kantor, aku melirik Ika, teman yang menemaniku sampai dia bilang, “Terserah. Gue ayo aja.”
“Udah ayo. Ditraktir! Ada yang abis menang lomba nih.” Kali ini suara Bang Tobo, fotografer yang mengajak makan itu.
Yang ditunjuk ingin menraktir adalah fotografer dari kantor cabang di Makassar, Sulewesi Selatan. Maman namanya. Dia menang lomba foto dan menjemput hadiahnya ke Ibukota. Dia bilang, baru pertama kali menjejak di Jakarta. Aku kenal dia saat meliput ke Makassar tahun lalu. Aku dan Ika pun setuju. Berlima, ditambah Bang Vian, kami melangkah santai menuju lokasi makan malam.
Jarak antara kantor dan tempat makan membuat aku dan Ika saling menatap. Bingung! Maksud kami, lokasi ini agaknya terlalu jauh jika hanya dibayar dengan seporsi nasi goreng yang masih kami sangsikan rasanya. Mungkin terlebih Ika, dia hanya menemani. Semakin melangkah, rasanya makin jauh saja jarak itu. Hingga kami terus mengernyitkan dahi. Sambil berbincang dan memberi tahu Bang Maman tentang kantor dan gedung yang kami lewati, sampai juga kami di Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih itu.
Penampilannya seperti tempat makan lain di pinggir-pinggir jalan. Beratap tenda sederhana, meja-meja panjang berjajar dengan alas warna merah, kursi-kursi plastik, kami berlima duduk tenang berhadapan. Bang Tobo buka suara, “Nasi Goreng Kambing empat, bos.” Minum pun dipesan, empat orang es jeruk, dan seorang lagi es teh tawar.
“Es teh tawar gak ada, Mbak,” kata pelayan.
“Oh, ya udah. Teh botol pake es,” Ika menyahut kalem.
“Gak boleh pake es, Mbak. Teh botol aja,” kembali pelayan itu menyahut. Cara bertuturnya tegas. Seperti polisi atau angkatan. Aku dan Ika mulai memainkan mata dan alis tanda keheranan.
Sambil mengangguk ragu-ragu, Ika menyahut pelan, “Pake es. Es-nya di gelas.”
“Gak boleh Mbak. Teh botol aja yang dingin,” kembali kalimat itu terlontar tegas.
Dan, Ika pun akhirnya, “Ya udah. Teh botol dingin.”
Sambil menunggu nasi goreng, aku memandang berkeliling dan mulai mengamati wajan besar yang cukup untuk menampung tubuhku itu. Wajan itu tengah dihadapi seorang koki yang sibuk mengaduk-aduk nasi goreng. Aku serius, wajan itu cukup lebar dan dalam. Aku mengabaikan wajan dan aktivitas pelayan di sana segera setelah nasi goreng kami datang.
“Minumnya mana nih,” Bang Tobo menyahut pelan. Suaranya hanya sampai pada kami.
“Iya, seret nih,” Ika menyahut.
Yang tiga orang, bungkam saja sambil mengamati nasi goreng dan mulai menikmati. Aku menyingkirkan emping dari atas nasi goreng. Aku tak suka, pahit! Baru satu kali suapan di mulutku ketika aku dengar Bang Tobo kembali bersuara, “Minta acarny dong, Mas.”
“Iya, sebentar,” pelayan menjawab datar.
Lama berselang, kebingungan akan lamanya menanti acar berganti kegelisahan. Gelisah karena minum yang kami pesan belum juga muncul. Tenggorokan kering, ditambah lagi hidangan yang kami lahap nasi goreng. Nasi goreng Bang Maman tinggal setengah piring ketika aku berucap, “Mas, minumnya mana?”
“Iya, Mas. Teh botol yang gak boleh pake es tadi mana?” Ika juga menimpali.
Para pelayan itu pun saling bertanya satu sama lain. Seorang yang melayani kami tadi berlalu. Tak lama, tergopoh-gopoh seorang laki-laki berambut bagus membawa empat gelas es jeruk di tangan kanan. Dan, teh botol yang tak boleh pakai es di tangan kiri. Ika, yang agaknya masih bingung dan sedikit dongkol bilang, “Ini dia teh botol yang gak boleh pake es.” Aku hanya tertawa.
Saat makan hampir usai, Bang Maman bilang, “Minta tolong dibungkus lima lagi untuk orang di kantor.” Bersamaan dengan diantarnya pesanan lima bungkus nasi goreng, acara makan malam selesai.
“Berapa, Mas?” Itu suara Bang Tobo. Bang Vian memang lebih banyak diam.
Lalu si pelayan menjawab dan membuat kami tercengang, “Nasi gorengnya empat ditambah lima jadi sembilan. Satu porsi dua puluh ribu. Dua puluh ribu dikali sembilan, seratus delapan puluh ribu. Es jeruknya empat. Satunya enam ribu. Empat dikali enam ribu, dua puluh empat ribu. Seratus delapan puluh ribu ditambah dua puluh empat ribu, dua ratus empat ribu. Teh botolnya satu, tiga ribu. Dua ratus empat ribu ditambah tiga ribu, dua ratus tujuh ribu. Kerupuknya satu, empat ribu. Dua ratus tujuh ribu ditambah empat ribu, dua ratus sebelas ribu.”
Kalian tahu, cara berdiri pelayan itu saat menghitung makanan yang harus kami bayar cukup unik dan tidak biasa. Badannya tegap, mata menatap lurus ke meja, kedua tangan saling menggenggam di belakang badan. Dia tak menggubris kami yang menatap bingung dan tolol. Bicaranya juga cepat. Persis seperti kutipan langsung yang ku buat itu. Menghitung pun tanpa jeda, bahkan untuk satu helaan napas sekalipun. Mungkin dia baru bernapas setelah Bang Maman mengangsurkan uang untuk membayar.
Di jalan pulang, sudah pasti kami membicarakan prosesi pembuatan nasi goreng dan cara-cara yang mereka pertontonkan. Termasuk, acar yang tak pernah bisa kami nikmati. Karena sampai nasi itu habis, acar tak kunjung datang. Dan, Ika masih belum terima karena tak boleh memesan teh botol dengan es batu!