Siang cukup terik ketika sebuah bus pariwisata dengan pendingin bergerak meninggalkan Komplek Bier No 1A, Menteng Dalam, Jakarta Selatan. Bus bernomor polisi B1984DS itu mengantar segerombolan pewarta dari berbagai media massa, online, cetak, dan elektronik. Benak setiap kuli tinta itu dipenuhi keinginan dan harapan masing-masing, yang aku tak pernah menduga menjadi satu cita-cita kolektif: menolak intimidasi dalam segala bentuk terhadap profesi jurnalis!
Bentuk intimidasi apapun, oleh siapa pun, dan dalam kondisi bagaimana pun. Termasuk, jika intimidasi itu datang dari perusahaan media yang, maaf dengan segala hormat, kerap melanggar peraturan perundang-undangan. Aku sendiri, punya tujuan: mengenal lebih jauh bagaimana mengadvokasi diri sendiri (minimal). Dan keinginan lain, lari sejauh mungkin dari hiruk pikuk polemik hukum yang makin tak berharga.
Kegiatan ini bernama “Training Advokasi Menjaga Diri Jurnalis”. Sebenarnya ditujukan secara khusus untuk 20 orang wartawan dengan jabatan kontributor. Kalau tak percaya, lihat saja undangan yang tersebar di milis. Tapi rupanya panitia berhasil meloloskan beberapa orang “penyelundup”, termasuk aku-reporter junior tetap yang baru seumur jagung. Jumlah peserta pun digelembungkan menjadi 22 orang.
Tapi, “pelanggaran” bukan hanya dilakukan panitia dengan me-mark up jumlah peserta, penyedia jasa transportasi yang disewa panitia pun berbuat demikian. Ban bocor, namun pengaduan kami tak langsung digubris hingga harus menunggu selama tiga jam sebelum akhirnya ban bus kembali berputar. Sisa-sisa perjalanan menuju Wisma Tempo Sirnagalih, Jawa Barat, ku habiskan dengan perasaan panik. Jam menunjuk ke angka 17.36 sementara aku harus mengirim berita wajib! Berita sengketa yang kerap kalian dengar hari-hari ini.
Jauh sebelum itu, “pelanggaran” lain sebenarnya terjadi, ulah seorang jurnalis stasiun televisi swasta pertama di Indonesia. Pewarta itu berjenis laki-laki, seorang video journalist, kelakuannya kerap membuat orang terbahak. Ceritanya, dia menerima pesan singkat dari sebuah nomor tak dikenal. Isinya, meminta peserta training advokasi merapat ke Komplek Bier jam 11.00. Karena menduga pesan singkat dikirim karibnya, dia membalas, “Iya, tungguin, setan!” Saat itu dia masih di dalam sebuah bus umum. Dalam pengakuannya, dia tak membayar sewa bus. Ck… ck… ck…
Balasan pesan dari nomor yang sama pun segera dia terima, “Iya, mas. Ditunggu. Saya Ateng. Salam.” Pengirim sms ternyata adalah panitia acara, yang bahkan belum dikenal oleh si pewarta. Perasaan bersalah pun menyergap. Takut-takut dia melangkah mendekat ke rumah No 1A di komplek itu: membayangkan seperti apa wajah Mas Ateng. Profil singkat Mas Ateng, dia adalah orang yang paling tahu seluk beluk organisasi penyelenggara training. Tanpa dia, dipastikan setiap agenda di organisasi itu tak akan bisa dilaksanakan dengan baik.
Aku terbahak mendengar kisah itu. Diulang berkali-kali pun aku masih tertawa. Bagiku, inilah salah satu hal menarik ketika berinteraksi dengan orang-orang baru. Ada cerita lucu, unik, menantang, mengesankan, kadang menyedihkan, haru, dan tak jarang juga merasa gegap gempita. Dan episode mengesankan serta perasaan tertantang ini ku alami di hari ketiga training. Ini adalah satu-satunya hal yang tak terlintas di benakku sebelumnya: deklarasi!
Maksudku, otakku yang cekak ini tak sampai menembus gairah rekan-rekan seprofesiku akan sebuah perserikatan. Aku pernah berpikir soal ini. Tapi siyal! Hanya ada di pikiran, tak pernah direalisasikan! Kawan seprofesi yang baru kutemui selama tiga hari di Sirnagalih itu, 80 persen adalah wajah baru. Hanya tiga atau empat orang saja yang tak asing, di antara mereka aku temui ketika bertugas di Mabes Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Sisanya, aku baru sibuk mengundang mereka berteman di situs jejaring sosial ini di hari terakhir training. Tapi apapun, aku bersyukur atas itu: atas sebuah deklarsi yang aku lihat di depan mataku.
Deklarasi itu dibuat bukan tanpa proses. Wacananya sudah bergulir di kawan-kawan kontributor jauh hari, tapi selalu kandas. Mereka seperti tak mendapat sebuah momentum. Hingga akhirnya, Sirnagalih terpilih menjadi saksi atas deklarasi. Cuaca Ahad siang, 18 Juli 2010, bersahabat. Hujan baru saja reda. Tukang rujak tumbuk sibuk melayani pesanan “saksi” agenda penting itu. Tak jauh dari sana, para deklarator bersama “juru tulis” dadakan sibuk mengerumuni spanduk acara yang didaulat menjadi penanda resminya deklarasi mereka.
Aku hanya berada di sana, melihat dari dekat, tak tergabung di dalamnya. Tapi aku pun merasakan sengatan dan energi positif yang sama dengan mereka, mereka semua: 15 orang (lagi) yang menabuh genderang perang atas intimidasi terhadap wartawan! Lima belas orang yang akhirnya digadang sebagai deklarator Deklarasi Mega Mendung Forum Kontributor Indonesia (Forkontri), 18 Juli 2010. Deklarasi yang dicetuskan di lokasi sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Setidaknya, aku merasakan gemuruh dalam diriku mendengar mereka membacakan deklarasi itu. Salut! Dan terpenting, bukan apakah aku tergabung di dalamnya atau tidak. Tapi sebuah perasaan lain muncul, dan aku tak berharap ini hanya sebuah euforia tanpa nama. Aku kira, aku harus menemukan kembali gairah itu. Gairah yang lama menguap, digilas ketidakpedulian tanpa jeda! Terima kasih, kawan! Terima kasih memperkenankan “penyelundup” masuk dalam “barisan” perlawanan kalian! Salam hormatku untuk semua rekan seprofesi di mana pun.
“Jika diam dan bergerak sama-sama berisiko, kenapa mesti diam…”