Angin di luar kantor cukup dingin ketika aku membungkus netbook yang masih hangat. Hujan deras seharian tadi tak membuat langit lantas menjadi gelap. Aku meninggalkan kantor dan meminta temanku mencari warung yang menjual soto ayam. Kebetulan dia sedang berbicara dengan temannya di telepon dan kami disarankan menuju ke Jalan Jaksa.
“Tempat biasa kita makan ayam bakar dulu itu,” kata temanku setelah mengakhiri percakapan di telepon.
Aku lantas teringat sebuah tempat yang berada persis di seberang mulut gang kecil di depan sebuah hotel. Aku dulu selalu makan di tempat ini bersama teman-teman kantor satu angkatan. Saking hapalnya pada wajahku, dan terutama seorang temanku yang lain, si ibu pemilik warung kerap memberi kami bonus untuk tidak membayar makanan tertentu. Tapi yang membuatku betah ke sana, ada laki-laki berkulit gelap berpakaian urakan yang pandai berbahasa Inggris. Suaranya renyah dengan wajah menyenangkan. Gayanya asik dilihat. Dia kerap duduk di mulut gang. Aku pernah tak jadi menyuap makananku karena sengaja mencuri dengar percakapan laki-laki itu dengan kawannya. Meja kami tak terlalu jauh.
“Soto ayam, satu. Lo apa?” aku melirik temanku ketika sampai di warung makan. Warung itu terletak di sebelah kanan kalau dari Jalan Kebon Sirih. Yang sering menghabiskan waktu di Kuala Lumpur (KL) Village, ya setelah melewati tempat itu persisnya.
“Soto juga….” sahutnya.
Tak sampai 20 menit, soto ayam dengan kuah berwarna kuning pucat terhidang di meja kami. Mataku menatap sinis pada penampilan seporsi soto yang sama sekali di luar harapan. Ketika aku mengangkat wajah, temanku juga sedang menatap aneh pada sosok soto tak berdaya itu. Kami berpandangan dengan wajah bingung dan kecewa. Tanpa dikomando, kami mengaduknya. Lantas, “Mana bihunnya, ya?” aku malah lupa siapa yang bertanya.
Setelah tenggelam dalam kebingungan dan tertawa penuh penyesalan, temanku bersuara, “Maaaaassss.”
“Iya, Mbak?” si pelayan menghampiri.
“Ini mana bihunnya, ya?” katanya dan ku sambung, “Iya. Kok soto gak pake bihun. Aneh.”
“Kurang ya Mbak bihunnya?” sahutnya lirih.
“Bukan kurang, Mas. Gak ada. Gimana niy?”
Si pelayan mengangkat kedua soto ayam ketika aku mengamati piring kembang warna merah dan kuning yang menampung nasiku. Warna piring dan kondisi nasinya sama sekali tak menarik, kalau tak boleh ku bilang buruk. Pasti beberapa (butir) dari nasi itu ada yang keras. Hanya mamaku dan beberapa orang yang tahu aku tak suka nasi yang beberapa di antaranya keras. Setelah gagal menitahku mencium sambal, temanku menciumnya dan berkomentar, “Asem.” Tampangnya menyedihkan setelah mencium sambal. Aku tergelak dan tak berhenti tertawa sampai pelayan datang mengantar soto ditambah bihun.
“Makasiii,” kami menyahut bersama kepada pelayan yang tersenyum sendu. Mungkin dia merasa kami menertawai jualannya. Tapi salah siapa? Sebelum pelayan berlalu, aku memesan tempe dan tahu goreng. Firasatku mengatakan, aku tak akan berselera mengunyah dan menelan soto berkuah kuning pucat itu.
Soto yang sejak kedatangannya pertama kali tak pernah tampak menggiurkan itu kami aduk dengan lunglai sambil terus menerus tertawa tertahan. Tak enak hati juga rasanya terpingkal-pingkal di hadapan makanan yang malang. Kondisi soto telah melenyapkan rasa laparku. Bihun tambahan itu masih keras, ada kol dan toge dalam potongan yang berlebihan, sementara si ayam mati yang direbus tak sampai 10 irisan. Ah, siyal! Apa kabar kuahnya? Memprihatinkan!
“Tanpa mengurangi rasa hormat, makassiiii ya Kandiiii,” temanku terus cekikikan. Aku memang menraktir soto itu dan benar-benar tak tahan untuk terus tertawa. Posisi dudukku yang persis menghadap si pelayan kurang mendukung. Sedang si teman yang brengsek itu membelakanginya. Terkutuklah dia yang selalu tertawa dan aku harus menjaga perasaan si pemilik warung. Ngomong-ngomong, baru kali ini aku merasa bersalah membayari orang lain makan.
Si tahu dan tempe datang dan aku yakin akan menikmatinya sebagai pengganti soto. Lihatlah, piring apa lagi yang dia pakai untuk menempatkan lauk dari bahan kacang kedelai itu? Okay, cukup! Piringnya dekil. Warna kecokelatan menutupi warna dasarnya yang putih. Aku hanya menatap lemah pada temanku yang melotot kaget. Tangannya terulur menggaruk-garuk warna kecokelatan di piring, dan tertawa keras. Warna kecokelatan itu melekat di sana, mungkin sebuah piring usang. Mau tidak mau aku ikut tertawa. Sigap aku memindahkan tahu, tempe, dan sambal ke piring kembang yang telah lebih dulu merusak menu buka puasa.
Tak banyak yang kami bicarakan sambil menelan makanan-makanan itu. Kami terlalu pedih dengan fakta soal soto dan lainnya. Jangan salahkan aku jika soto itu bahkan setengahnya pun tak habis padahal aku sangat lapar. Temanku hanya menyisakan kuah kuning pucat tanpa sambal. Padahal, bukankah kuah soto (seharusnya) selalu nikmat dan akan dihabiskan bersama isi-isinya? Ah, sudahlah. Aku hanya sedang tak beruntung. Seperti saat aku memesan soto di samping Gedung KPK beberapa waktu lalu bersama temanku dari Koran Tempo yang sekarang sedang berada di Korea Selatan. “Yah, Kandi. Iya siy, ini togenya kebanyakan. Gak menarik ya?” Dan dia tertawa sambil meyakinkanku untuk tetap menghabisinya. Tiba-tiba, aku merindukan Soto Bude di samping kampusku yang belum pernah ku temukan tandingannya dalam hal rasa dan penampilan.
asik, realiti n kritis
Terima kasih. Salam