Rintik-rintik dari langit mulai turun tanpa petir ketika aku masih harus berjalan sekitar 20 menit untuk sampai di tempat tujuan. Sebelumnya, penunjuk jalan mengajak kami mampir di sebuah rumah renta cokelat tua.
Aku duduk di bangku kayu bersandar pada dinding yang sepertinya agak rapuh. Mereka bercakap dalam bahasa yang tak ku mengerti. Kami sudah berjalan lebih tiga jam. Licin, becek, tanah gembur, dan belukar aku lalui dengan senang.
Dua ekor anjing menyalak tiada henti. Makin lama, gonggongan anjing makin keras melihat satu per satu orang asing datang ke wilayahnya. Anjing-anjing itu kurus dan terlihat tak berdaya. Mereka tak berani mendekat, hanya menyalak kencang.
Sebuah bangunan lusuh tampak di hadapanku. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan rumah petak sebelumnya, yang sebenarnya (maaf) lebih mirip sebagai gubuk. Tapi tinggal di gubuk bukan sebuah dosa. Yang dosa adalah mereka yang merampas uang yang seharusnya untuk pembangunan daerah tertinggal.
Tertinggal! Wilayah di kawasan yang aku datangi ini memang tertinggal. Aku sama sekali tak membayangkan bahwa di salah satu sudut kota yang sering ku lalui masih tersisa orang-orang yang menghabiskan waktu dalam kesenyapan. Maksudku, Bogor adalah daerah yang tak terlalu jauh dari Jakarta. Bagaimana bisa tak tersentuh? Yah, mungkin aku yang terlalu percaya diri bahwa pemerintah memerhatikan setiap warga negaranya.
“Fotonya bisa langsung jadi, ya?” si teteh pemilih rumah bertanya penuh semangat. Saat itu aku sudah duduk di bangku kayu beranda rumahnya.
Aku menjawab, “Bisa langsung dilihat kalo mau.”
“Bukan, maksudnya, bisa langsung dicetak?” si teteh kembali bersuara.
“Yah, gak bisa. Kalo mau lihat aja bisa,” teman seperjalananku kali ini yang menjawab sambil tersenyum mahfum.
Saat itu, kami sedang berfoto-foto setibanya di kediaman si teteh di Kampung Cisadon, Kecamatan Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat. Si akang yang duduk di sebelah kananku tak ikut dalam percakapan itu. Rasa menyesal sedikit menjalariku karena mengecewakan si teteh: kamera poket yang ku bawa tak bisa langsung mencetak foto. Dan kegetiran makin ku rasa ketika si teteh kembali bertutur, “Kirain bisa langsung dicetak. Kalo bisa mau minta foto untuk bikin KTP.”
Wajah si teteh yang mengaku sudah lebih dari tiga hari meriang makin pias. Semangat yang tadi menyala di sela wajahnya yang agak pucat sirna ditelan kekecewaan karena kamera yang ku bawa belum terlalu canggih untuk memenuhi keinginannya.
Si teteh tak punya KTP, dan pasti tidak ikut pemilihan umum. Tapi untuk apa kalau pun punya KTP dan ikut pemilu? Toh si perubahan tak akan singgah di rumah reotnya yang bahkan tak memiliki kamar mandi! Ya, tidak ada toilet di sana, tidak juga ada listrik tentu saja. Sayang sekali, aku tak sempat memasuki rumahnya yang sederhana itu
“Ini ada obat, Teh. Diminum, ya. Ada vitamin juga. Kalo meriangnya udah hilang, obat ini jangan diminum lagi. Kalo vitamin ini boleh diminum terus sampai habis,” penunjuk jalan dalam rombonganku mengangsurkan dua jenis obat kepada si teteh yang menyambutnya dengan gembira. Lalu entah siapa yang bertanya, “Emang gak ke dokter, Teh?”
“Mau ke dokter gimana dari sini….” si teteh menjawab pelan.
Aku sudah memutuskan untuk menutup rapat mulutku. Biasanya aku berisik bertanya ini itu. Tapi entah kenapa aku tak bersemangat untuk mencari tahu tentang keseharian si teteh dan suami serta putra-putrinya. Aku kira aku ingin liburan dan tak mau bertanya karena aku khawatir akan jadi sangat kesal pada pemerintah. Buang-buang energi!
Pasti cerita si teteh tak akan sebahagia cerita anak-anak pejabat negara itu. Bagaimana tidak? Dia tak bisa ke dokter setelah lebih tiga hari sakit. Dia juga harus pasrah karena pohon pisangnya dirusak babi hutan, aku tak tahu untuk apa. Dua ekor anjing kurus tak bisa menjaga kebon pisang dari amuk si babi. “Ayam juga tuh dimakan Elang,” kata si teteh.
Oh, Burung Elang memakan ayam si teteh. Lalu dia bilang lagi untuk mencapai pasar dia butuh waktu empat jam berjalan kaki, bolak-balik. Kalau pun bisa ke pasar, apakah punya uang? Aku tak bertanya. Tidak juga menanyakan dia makan apa sehari-hari? Buat apa? Memangnya aku bisa bantu apa? Aku juga tak memastikan sayuran dan bahan makanan apa saja yang ada di kebun miliknya. Apakah itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Apakah pernah merasa lapar? Apakah si kebun juga diganggu babi atau elang?
Aaahh, sudahlah! Tahu dia tidak punya KTP saja sudah membuat isi kepalaku mengembara ke mana-mana. Yaitu bahwa pemerintah tidak pernah melakukan apa-apa. Aku tahu, Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika kaum itu tidak mengubah diri mereka sendiri. Serius, aku tahu betul itu. Tapi ini juga tidak bisa dijadikan pembenaran untuk pemerintah berpangku tangan atas nasib rakyatnya.
Kalau dikasih pilihan untuk perbaikan hidup, mungkin teteh dan keluarganya sangat ingin. Kalau mereka tidak ingin, ya seharusnya tulisanku ini tidak pernah ada. Tapi mereka tak punya pilihan dan mungkin akan selamanya menghabiskan waktu di sana, dalam gelap setiap malam, hingga tua menyapa mereka. Seperti sepasang kakek nenek yang aku temui di rumah sebelumnya.
Dan anak-anak mereka akan kebingungan melihat orang-orang dari kota seberang datang bertamu. Mereka akan diam seribu bahasa dengan wajah penuh tanya tapi tak mengerti apa yang harus ditanya. Seperti anak-anak si teteh yang tak mengeluarkan sepatah kata pun kepada kami, bahkan ketika aku menghampirinya untuk bersalaman saat datang dan pamit. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami. Aku meninggalkan rumah itu dengan perasaan biasa.
Tapak-tapak jalan di antara semak kembali ku jejaki. Suara mesin pemotong kayu jelas terdengar dari kejauhan. Sementara monyet-monyet yang tak lagi punya hutan untuk bergayut makin merana dan sebal mendengar bising mesin. Satu lagi bagian negeriku dicabik-cabik oleh tangan tak bertanggung jawab. Atau mungkin sebenarnya mereka tak ingin begitu, tapi rasa lapar memaksa mesin-mesin itu bekerja memotong pohon untuk ditukar dengan nasi. Menuruti keserakahan cukong-cukong kayu.
wuah..gak tau sesi trenyuh ini. jadi malu, karena terlalu egois dan memikirkan diri sendiri akan rasa takjub karena berhasil mencapai tempat itu.
tulisan yang menghanyutkan..sampai terseret arus membacanya..
mungkin ini yang dinamakan proximity..
salam kenal .. ane uways … salah satu anggota rombongan kemaren (yang paling kecil )
wah ini mah cerita pas naek gunung kemaren … oiya mba kandi , daerah kemaren namanya apa ya ??
karena baru pertama naek gunung , ane ga sempet merhatiin daerahnya …
Uways: Hai Uways, salam kenal juga… Iya, ini cerita perjalanan kemarin. Gmn ceritanya bs sampe di blog ini? Hehehe… Kemarin kita berangkat dr Desa Wangun I, Kec Karan Tengah, tempat kita salat dzuhur-ashar.. Truz tempat kita nge-camp namanya Kampung Cisadon. Baru deh kita keluar lewat jalur Curug Panjang 😀
ndk: Hihihi… Iya, nampaknya elo dan rombongan kloter lain blm sampe di tempat si teteh waktu ada obrolan soal ini, Ndank, hhhhhehhe…. Terima kasih menyempatkan membaca 😀
ane dapet ini web site dari googling ajah …
ga ketemu secara langsung .. tapi lewat twitangel … baru kan dari situ ada link kesini … (perjalanan yang panjang)
thanks atas infonya ya …
Wow, wonderful blog layout! How long have you been blogging for?
you make blogging look easy. The overall look of your website
is fantastic, let alone the content!
Hi Taren, thank you for visiting my blog. I have been blogging since 2007. Are you speaking Indonesia? Where are you from? 😀