Maaf, Dik

Jalan raya di hadapanku lengang. Hanya satu dua kendaraan bermotor yang menderu. Angin dan gelap duduk bersamaku ditemani suara besi yang beradu. Kami berempat, aku, temanku, dua orang teman dari temanku duduk berkeliling, menertawakan apa saja yang tampak. Angin pun kalau tertangkap mata kami, mungkin juga ditertawakan.

Cerita silih berganti, kadang serius kadang kelakar. Mungkin meja kami yang paling berisik di antara yang lain. Tapi siapa peduli? Lantas tawa berubah menjadi agak emosional ketika temanku bercerita tentang kekurangajaran petugas maskapai penerbangan. Temanku sedang berada di Bali untuk liputan, dan dia harus segera kembali ke Jakarta karena ayahnya pergi untuk selamanya.

Petugas-petugas sialan itu malah menimbang-nimbang, apakah mendahulukan perempuan yang ayahnya akan segera dimakamkan itu atau seorang eksekutif muda yang ada janji main golf di Jakarta. Temanku dan si eksekutif muda itu sama-sama masuk waiting list. Ya Tuhan, doaku untuk petugas maskapai itu dan untuk kalian yang tidak pernah kehilangan seseorang yang sangat kalian sayangi, berbahagialah selamanya.

Pasti tidak mudah berdiri di atas kaki sendiri yang rasa, pikir, dan raganya sudah melayang entah ke mana. Harus menguras energi karena berurusan dengan orang lemah otak untuk memohon satu tiket yang tidak gratis. Orang gila memang berbaur dengan si waras di sini. Segala serapah juga pernah aku lontarkan sekaligus ketika berurusan dengan petugas apotik.

“Mba, ditunggu ya,” seseorang di balik kaca yang bagian bawahnya terbuka berkata kepadaku.

“Iya,” kataku pelan sambil mengangguk dan mundur teratur. Beberapa lama aku duduk, tapi tidak ada pergerakan di ruang obat itu. Secarik kertas resep yang aku angsurkan masih tergolek tidak tersentuh. Perempuan yang tadi menerima resepku terlihat asik mengobrol dengan temannya di loket sebelah.

“Mba, kok belum ya resep saya?” tak tahan aku menghampirinya dan bertanya, pelan.

“Oh, tunggu ya Mba. Soalnya yang urus obatnya lagi rapat.” Dia kembali bercengkrama dengan temannya.

Badanku mulai bergetar, antara marah dan sedih. Ya Tuhan, adikku koma di sana dan dia butuh obat ini untuk sekadar memperpanjang napasnya. Obat langka, belum tentu apotik sialan itu memilikinya. “Apa Mba? Rapat? Yang jaga obat rapat dan gak ada yang gantiin?” tanyaku dengan suara mulai parau.

“Gak ada Mba. Semuanya rapat sama pimpinan….”

“Ade saya koma di rumah sakit Mba! Dan dia butuh obat itu sekarang!”

“Tunggu aja sebentar lagi Mba. Rapatnya mungkin sebentar selesai…..”

“Tunggu sebentar lagi? Anjin* lo ya! Gue bisa nunggu apoteker di sini sampe tahun depan kalo perlu! Tapi ade gue koma dan butuh obat itu sekarang!”

Si penjaga apotik itu lari terbirit-birit ke lantai atas. Lama di atas, tap dia tetap turun seorang diri dan itu membuatku makin menjadi-jadi. “Sebentar lagi turun, Mba,” katanya sebelum aku buka suara.

Sambil menunggu, aku tak tahan membiarkan mulutku mengatup, “Mba, boleh tanya? Apakah selalu, kalo rapat, petugas obatnya gak ada yang gantiin???” Si petugas diam, aku melanjutkan, “Udah berapa banyak keluarga pasien yang ngajak manajemen apotik berantem karena masalah ini???” aku masih emosi.

Lalu si petugas obat turun dan berbasa-basi, “Maaf Mba, tadi saya harus rapat sama pimpinan….”

“Lo rapat sama presiden juga gue gak peduli, Mba. Kasian ya pimpinan kalian, sakit jiwa! Masa orang koma disuruh nunggu orang rapat baru bisa tebus resep??!!! Aku benar-benar mengabaikan bahwa hari itu aku masih berpuasa, hari ke-12 Ramadan.

Benar, kan? Obat itu tidak sepenuhnya ada di sana dan aku harus mencari tambahannya ke apotik lain. Emosiku sudah meluap dan di sana, dalam jarak puluhan kilometer, di sebuah kamar gawat darurat rumah sakit, adik perempuanku berbaring. Sisa napasnya hanya satu-satu. Mesin deteksi jantung miliknya masih berkelok-kelok. Masih ada harapan, aku harus berusaha untuk sekantong obat itu.

Esok harinya, adikku menyelesaikan kontrak hidupnya dengan Sang Khaliq. Dia pergi setelah sempat mencicipi obat yang aku bawa hari kemarin. Maaf, Dik, aku tidak suka dengan apa yang mereka lakukan terhadap pasien-pasien penebus resep. Maaf, Dik. Mungkin kamu sedih karena aku masih saja meratap. Kamu, pergilah dengan tenang dan aku tidak pernah menyesali keputusan Sang Mahapengasih karena mengambilmu. Maaf Dik, atas semua keburukan yang aku lakukan dan mengusikmu. Berbahagialah di sana, di surga bersama-Nya.

0 Shares

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *