Hari Jumat, jam 1.30 sore, saya mulai panik, meskipun pura-pura tenang di hadapan beberapa orang yang belum terlalu saya kenal. Panik karena jam segitu, deadline semakin dekat dan belum ada satu kalimat pun saya ketik untuk berita. Padahal sedari pagi, bos saya sudah minta tolong agar ada minimal satu berita yang bisa dia edit sebelum jam 2.
Sedikit banyak, konsentrasi saya juga pecah mengingat seorang teman yang baru saja mendapat kabar bahwa ayahnya berpulang, sementara si teman berada jauh dari sang ayah. Ah, tak ingin sebenarnya membiarkan hal itu berkelebat di pikiran saya, karena terlalu menyedihkan. Berdoa saja semoga teman saya bisa melewati kedukaan ini dengan tenang, sama seperti ayahnya yang berbahagia di sisi Tuhannya. Meskipun entah kapan air mata teman saya akan kering dalam waktu-waktu dekat ini.
Sambil masih ikut merasakan kedukaan teman yang menyimpan sejumlah aib saya itu, saya mulai mengirim pesan singkat kepada salah satu pejabat tak ramah di sebuah institusi pemerintah, sebut saja Ibu Nyonya. Isinya, “Bu Nyonya, maaf mengganggu pekerjaan Ibu. Saya mau minta data terkait …. sepanjang 2009 dan 2010. Saya diarahkan oleh Wakil Menteri untuk menghubungi Ibu. Kapan saya bisa ambil data itu? Terima kasih.”
Kesalahan pertama dan satu-satunya dari pesan singkat itu, saya tidak menyebutkan siapa saya (nama dan profesi atau asal institusi). Saya lupa berat! Tapi, bukan satu dua kali ini saya mengirim pesan pendek dan menelepon Ibu Nyonya. Jadi sambil berkhayal tingkat tinggi bahwa dia sudah menyimpan nomor ponsel saya, saya menduga-duga apakah ide cemerlang saya itu berhasil.
Cemerlang? Iya, menurut otak saya yang cuma seadanya ini, dua kalimat terakhir dalam pesan saya itu adalah ide cemerlang karena “meminjam” nama bosnya, si Wakil Menteri itu agar Ibu Nyonya memberi data. Saya tidak melakukan tindak kriminal dan pidana, bukan? Pertama, data yang saya minta bukan rahasia negara dan sudah selayaknya bisa diakses publik. Kedua, sekarang merupakan era keterbukaan.
Ketiga, Wakil Menteri itu pernah bilang kepada kami semua bahwa data umum bisa diakses dan kami bisa menghubungi pejabat bersangkutan untuk meminta. Begini kata Wakil Menteri, “Saya pastikan, data umum yang memang sudah selesai kami himpun dan bukan rahasia, akan kami berikan. Silakan menghubungi pejabat bersangkutan dan kalau ada kesulitan, silakan langsung hubungi saya.”
Bingo! Dalam waktu kurang dari satu menit, pesan singkat saya dibalas, sesuatu yang tidak pernah terjadi, “Sekarang juga bisa diambil. Silakan ke ruangan saya dan kalau ada yang kurang, minta tolong anak buah saya untuk membantu menemukan data yang Anda perlukan.” Ini adalah fakta yang luar biasa karena Ibu Nyonya ini sering sekali sinis kalau saya telepon, meskipun telepon saya selalu dia jawab. Dia juga tidak pernah mau kasih data apa pun yang saya minta, termasuk data ini. Nada bicaranya selalu kesal dan setelah itu mengakhiri pembicaraan di telepon tanpa sempat saya bertanya lebih lanjut. Semoga ini tidak terdengar seperti orang yang gampang berkesah dan cengeng menjalani pekerjaan ini.
Tergesa saya menuju ruang kerjanya, setelah mendapat ide untuk menulis satu berita. Belum sampai ke ruang Bu Nyonya, bos saya menginformasikan ada berita yang bisa saya garap bersumber dari keterbukaan sebuah perusahaan. Tugas untuk Jumat siang ini, selesai sudah, tinggal diketik dan dikirim. Setiba di Lantai A, tempat si ibu berkantor, saya disambut seorang sekuriti muda yang ramah. “Selamat siang, Mbak. Ada yang bisa dibantu?” kata si sekuriti tersenyum.
“Selamat siang, Mas. Saya mau ketemu Ibu Nyonya, dia minta saya ke ruangannya.”
Sekuriti masuk ke sebuah ruang di sisi kirinya, sementara saya menunggu. Lantai hitam dan tembok kaca memantulkan diri saya yang sedang berusaha menormalkan pernapasan. Saya lari-lari kecil dan mondar-mandir di depan lift yang belum terbuka ketika menuju ke sini. “Silakan masuk, Mbak,” sekuriti ramah tahu-tahu sudah di dekat saya.
Selepas mengucap terima kasih kepada sekuriti yang saya yakin akan sering saya repotkan di kemudian hari itu, saya menjabat tangan seorang bapak separuh baya yang tidak ramah. Dia duduk dengan kaku memasang tampang dingin. Gayanya seperti polisi galak menanyakan maksud dan tujuan seseorang datang ke Sentra Pelayanan Kepolisian. “Anda siapa?” tanyanya yang dia kira tegas, tapi saya menanggapinya seperti orang yang mengundang berkelahi.
“Saya Lira dari …. Bisa saya ambil data yang saya minta dari Ibu Nyonya?” tanya saya. Entah kedengaran seperti membalas ketegasan atau malah seperti orang ketakutan.
“Data apa yang Anda minta?” suaranya makin menunjukkan kalau dia tidak suka dengan kehadiran saya. Lalu saya bicara panjang lebar dan dia menyarankan saya untuk datang ke bagian lain.
“Saya diarahkan Ibu Nyonya datang ke sini, setelah Wakil Menteri mengarahkan saya untuk menghubungi Ibu Nyonya. Bagaimana bisa Wakil Menteri salah mengarahkan saya?” Saudara-saudara, apakah saya sudah cukup keterlaluan memakai nama Bapak Wakil Menteri yang sejauh ini baik dan saya hormati itu? Entahlah.
Setelah menggerutu tak jelas, si bapak berteriak begitu saja memanggil nama seseorang. Ruangan itu besar, di sekat-sekat menjadi beberapa bagian yang tidak tampak kesibukan berarti. Sejumlah orang sedang menggerombol tak jelas, dan yang lain menghadapi komputer tua yang tidak bisa saya pastikan adakah akses intenet di sana. Dua kali teriakan si bapak memanggil-entah-siapa tak digubris, dia tiba-tiba berdiri dan menyuruh saya ikut ke sebuah ruang.
“Ini nih, dia minta data …. Saya mau arahkan ke Litbang aja, ya,” katanya. Saya tidak bisa memastikan, apakah itu pertanyaan atau pernyataan. Saya bergeming sambil menonton wajah laki-laki muda berwajah tampan yang sedang diajak bicara oleh si bapak kaku. Si laki-laki melihat ke arah saya sambil bertanya keperluan saya. Setelah lagi-lagi mengenalkan diri, saya dipersilakan duduk sementara si kaku berdiri di sisi kanan. Pelan-pelan saya jelaskan maksud kedatangan saya, menambahkan penjelasan bapak kaku.
“Wah, kalau data itu banyak sekali. Saya perlu minta waktu untuk membuat yang seperti itu,” si tampan berbicara tenang, nama samaran yang saya buatkan untuknya adalah Rely.
“Makanya, saya arahkan ke Litbang aja ya. Di sana kan ada semua tuh…,” si kaku masih gusar rupanya. Suaranya benar-benar mengesalkan dan memicu emosi. Tapi staf tampan ini memotong ucapan si bapak kaku sambil mengibaskan pelan tangannya dan memastikan bahwa dia akan memberi data-data yang saya butuhkan. Si bapak tadi meninggalkan ruangan, entah apa yang dia rasakan. Peduli amat!
“Data itu memang ada di sini. Tapi saya minta tolong dikasih waktu untuk bisa menyusun semua data itu. Saya juga minta agar lebih spesifik lagi karena itu banyak sekali. Bisa sampai puluhan lembar,” kata Rely.
“Oke, Mas. Saya bisa kasih waktu dan ini kartu nama saya. Nanti saya sms untuk yang lebih spesifik.” Saya mencatat nomor ponselnya di blocknote. Meski menyenangkan sekali menyaksikan laki-laki tampan yang ramah, tapi saya berharap bisa segera melesat keluar dari ruang kerjanya karena masih ada dua berita yang harus saya ketik.
“Bisa saya kerjakan tiga hari kalau segera saya dikabari permintaan yang lebih spesifik. Yang prioritas saja dulu, yang lain bisa menyusul. Nggak mungkin ditulis semua sekaligus, kan?” katanya ramah.
Saya mengiyakan, berterima kasih, dan pamit undur diri. Di luar ruang kerja Rely, saya menyapa bapak kaku yang dia jawab ogah-ogahan diiringi ketidakpedulian saya. Si satpam ramah tersenyum mengangguk ketika saya menuju lift. “Terima kasih, Mas (sekuriti yang baik).” Yang di dalam kurung itu saya ucapkan dalam hati.
*Masih ada otak Orde Baru di instansi pemerintah, seperti kelakuan si bapak galak: kalau bisa menyusahkan orang, kenapa mesti dimudahkan?