Jembatan transit terpanjang itu tidak ada artinya pagi itu karena yang aku tunggu baru saja bangun. Jadi aku menyusurinya pelan-pelan ditemani hentakan musik di headphone, sambil tersenyum yang akan membuat dia kesal tentu saja. Padahal tujuan perjalanan kami Sabtu pagi itu tidak terlalu menyenangkan buatku, dia pun bingung dengan apa yang akan aku lakukan di sana.
“Asli jauh banget. Emang lo mau ngapain di sana?” itu pertanyaannya yang tidak bisa ku jawab. Lalu seperti biasa, dia menurut saja dan tak ingin menyulitkanku dengan keharusan menjawab.
Dan perjalanan itu memang sangat panjang dan melelahkan, selain berdebu dengan polusi tingkat tinggi. Tapi lumayan, debu tebal yang terbang dengan lancang di wilayah itu membiarkan kami mendapati satu peristiwa lucu. Lucu yang sangat subjektif karena dengan agak menyesal, hanya kami berdua yang tertawa. Padahal di angkutan kota yang kami tumpangi itu setidaknya terdapat lebih dari lima penumpang lainnya.
Kami agak berhimpitan karena perempuan feminin dengan tanpa dosa duduk menyandar di sebelah kiriku. Kepalaku menghadap ke arah si supir, sambil takut-takut menghirup udara berdebu. Dia duduk persis di kananku dan mengarahkan pandangnya ke bagian belakang angkot, memerhatikan kendaraan lain yang lalu lalang. Tubuh kecilku sudah terpental-pental mengikuti irama angkot yang terantuk jalan rusak ketika dia berujar sambil tertawa tertahan, “Eh liat deh, liat deh itu.”
Aku menoleh cepat ke arah yang dia tunjuk. Persis di belakang angkot yang akhirnya kami bayar lima belas ribu berdua itu seorang pengendara sepeda motor menutupi seluruh wajahnya dengan telapak kiri, sedangkan telapak kanan tetap memegang kendali motor. Telapaknya itu cukup untuk menutupi seluruh wajahnya tanpa terkecuali dari kejaran debu berpolusi tingkat tinggi. Aku tak bisa menahan tawa terbahak karena dari gerakan tubuhnya, dia terlihat sangat santai dan terbiasa melakukan hal itu.
Kami saling menoleh dan melanjutkan tawa, diiringin tatapan datar-tanpa-ekspresi para penumpang lainnya. Bagaimana bisa laki-laki itu berkendara dengan menutup wajah? Kalau dia anak-kampung-situ semestinya dia tahu bahwa akan ada debu terlalu tebal sehingga diperlukan helm, masker, dan sejenisnya untuk melawan polusi. “Pasti dia orang situ deh. Karena dia gak bawa helm dan dia belok kiri ke tempat rumah-rumah itu,” suaranya. Dan aku menyesal tak memerhatikan alas kaki apa yang digunakan.
Angkot itu kembali hening. Hanya debu yang masih lincah beterbangan diiringi deru mesin angkot yang bersentuhan dengan jalan di kawasan industri. Hampir semua penumpang diam seribu bahasa sambil menutup wajah dan mulutnya dengan sesuatu, apapun. Kami hanya sesekali saling tengok dan tertawa. Ingin rasanya membiarkan tawa sekencang biasanya, tapi pikiranku kembali ke pekerjaan. Meratapi pelan-pelan kekecewaanku terhadap diriku sendiri dan sejumlah orang.
Aku merasai kelembutan pasir-pasir putih di telapak kakiku yang bersepatu. Aku juga melihat langkah kakinya yang mengikuti ke mana pun aku membawa diriku. Beberapa kali dia bertanya untuk apa, dan setiap kali itu juga aku hanya tersenyum, getir. Lalu di sanalah aku. Memikirkan segalanya dan menyudahinya dengan tanggung. Entah apa yang berkelebat di kepalaku, aku tidak tahu. Aku hanya tahu, aku sedang bimbang dan dia ada di sana bersamaku. Dan aku yakin, sesedih apapun, kami pasti menyisakan tawa.