PONSELKU bergetar lembut diiringi nada dering yang sudah ku setel berbeda dari panggilan lain. Dengan semangat maksimal edisi orang yang baru bangun tidur, aku menjawab telepon itu dan suaranya ku dengar kemudian. Suara yang entah bagaimana menjadi sangat berarti buatku.
Dia bicara apa saja, menggoda, tertawa, hingga sedikit bicara agak lebih serius. Aku mendengarkan dengan teratur ketika dia bercerita, “Mau tau gak sahabat gue bilang apa?”
“Apa?” kataku singkat dengan perasaan sangat ingin tahu.
“Dia ngeh katanya ada aura yang beda dari kita berdua pas waktu kenalan itu….”
Tersenyum, hanya itu yang aku lakukan di ujung telepon. Aku yakin pasti orang-orang lain yang dekat dengan kami akan merasakan aura itu. Karena di hari aku berkenalan dengan sahabatnya, aku memang sudah berpikir lebih banyak tentangnya, tentang kami. Walaupun aku tak berani menyimpulkan apapun dan aku tahu persis aku hampir tidak bisa menyembunyikan apapun.
Aku menggodanya dengan mengatakan bahwa semua orang sadar kecuali dia. Tapi jauh di dalam hatiku, aku bersyukur karena Tuhan telah mengantarkan seseorang yang sangat berharga. Yang tidak memiliki praduga tertentu sekalipun halal jika memang dia merasa. Berharga karena tak berharap apapun atas begitu banyak ketulusan yang dia berikan.
Aku lalu kembali mengingat percakapan menjelang pagi itu. Aku kira sebelumnya, aku adalah orang yang paling tulus, aku sulit berharap, dan melakukan semua hal karena begitulah aku adanya: tak mengharap balasan. Tapi aku salah! Karena ada yang lebih tulus dariku dan dia membuktikan semuanya. Di atas langit masih ada langit, banyak pelajaran sejenis ini yang aku pelajari dari dia. Dari hal sekecil apapun hingga hal yang begitu besar dan sangat berharga ini.
Kalau aku boleh bergumam, sepertinya ini yang disebut akan indah pada waktunya. Dua ketulusan ini terbayar justru di saat kami sama-sama menghadapi persoalan yang membuat kami berdua begitu marah dan lelah. Karena jika dihitung mundur, kami sebenarnya selalu berada di tempat yang sama di waktu yang lalu. Dia dengan ketulusannya beraktivitas, aku dengan kegiatanku.
Aku telah kehabisan begitu banyak kata belakangan ini. Diksi-diksi yang pernah memenuhi benakku seakan tak pernah cukup untuk mengganti rasa syukur yang teramat sangat. Dan percakapan telepon pagi menjelang siang ini juga makin membuatku kehilangan kata. Mungkin aku perlu membaca lebih banyak kamus untuk memperkaya kosakataku. Dan semakin memperbanyak sujudku atas nikmat Tuhan yang begitu melimpah.
Tepat ketika aku menyudahi kalimat terakhir dalam catatan ini, ujung mataku menangkap Halte Semanggi telah dekat. Aku bergegas dan mendapati matahari telah sangat tinggi lalu berjalan pelan menyusuri jembatan transit terpanjang sambil menikmati belaian angin. Lagu yang ku putar berkali-kali menghentak lewat headphone, dan aku bertutur pelan: kamu adalah nikmat Tuhan yang dipercayakan kepadaku untuk aku jaga selamanya.
*Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan? (QS Ar-Rahman)