Aku menghirup udara sejuk malam itu dengan syukur. Langkahku tergesa menuju Mesjid Al-Muttaqien di Komplek Polri, Pengadegan. Berjalan kaki, 10 menit aku tiba di sana. Lama aku tak singgah di mesjid masa kecilku ini. Sebenarnya, persis di belakang rumahku ada mesji juga. Meski jaraknya hanya 3 menit berjalan kaki dari rumah, tapi aku jarang sekali berjamaah tarawih di sana karena jumlah rakaatnya 23. Aku belum serajin itu dalam hal beribadah. Jadi aku memilih Al Muttaqien, yang cukup 11 rakaat.
Tahun lalu, aku absen salat tarawih. Sama sekali absen! Itu karena hari-hari itu, aku disibukkan oleh kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah. Penetapan tersangka keduanya malah terjadi menjelang akhir Ramadan dan seluruh wartawan yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersiaga di sana hingga pukul 02.00 dini hari, 15 September 2009. Karena itu aku bersyukur sekali karena bisa ikut berjamaah di mesjid.
Layaknya awal-awal Ramadan, mesjid selalu penuh. Aku menyusuri sajadah demi sajadah yang terbentang di lantai-lantai mesjid. Salat tahiyattul mesjid! Aku selalu menyukai salat sunnah itu. Adzan Isya berkumandang sesaat setelah aku mengucap salam dalam salatku. Ya Allah, suara itu: suara seorang laki-laki paruh baya bernama Marsono yang selalu menjadi imam mesjid sejak aku masih berseragam putih biru itu kembali ku dengar. Aku hapal sekali suaranya, hingga nadanya saat membaca surat Al-Fatihah.
Seluruh anak seusiaku yang salat di sana pasti kenal suara dan namanya. Bagaimana tidak? Dulu, waktu masih SMP, setiap siswa muslim selalu dibekali Agenda Ramadan. Kami harus mencatat setiap aktivitas Ramadan sebagai tambahan nilai Agama Islam. Bukan hanya mencatat, untuk meyakinkan guru bahwa kami benar-benar melakukan ibadah itu, kami harus meminta tanda tangan kepada imam mesjid atau guru mengaji untuk setiap ibadah. Jadilah, selesai witir dan membaca niat berpuasa, kami berhamburan menuju mimbar imam mesjid. Pak Marsono yang baik hati itu selalu bersemangat menandatangani puluhan Agenda Ramadan.
Selesai tarawih malam pertama itu, aku meninggalkan mesjid melalui jalan yang berbeda menuju ke rumah. Aku sengaja mengambil jalan itu karena ingin melihat berkeliling mesjid yang sudah direnovasi itu. Bangunannya sudah tak seperti dua tahun lalu saat aku masih ikut berjamaah meski tidak setiap malam. Dua tahun lalu itu juga, jamaah mesjid yang berangkat dari rumahku selalu dua orang: aku dan adikku. Bersama dia juga aku menirukan nada bacaan salat Pak Marsono sambil tertawa. Kalau aku liputan, dia yang berangkat bersama tetangga kami. Dan aku selalu bertanya, “Tadi imamnya, Pak Marsono?” Sambil tersenyum dia menjawab, “Iya. Enak ya kalo imamnya dia. Gak cepet-cepet, tapi juga gak terlalu lama.”
Dari pintu di sebelah selatan mesjid aku tak bisa melihat langsung aktivitas di shaf laki-laki. Kalau bangunannya masih seperti dua tahun lalu, aku bisa melihat Pak Marsono bercakap dengan para jamaah yang lain. Duduk bersila. Sejumlah anak kecil yang berkerumun meminta paraf untuk Agenda Ramadan juga tak nampak. Aku tak tahu, masih ada atau tidak agenda itu. Aku juga tak tahu, apakah Pak Marsono masih ingat kepada bocah-bocah yang selalu merepotkan dirinya setiap malam Ramadan, termasuk seorang anak perempuan yang sudah menghadap Tuhannya di usia ke-21.
Yang aku tahu, anak perempuan itu masih salat tarawih berjamaah di sana hingga malam ke-11 Ramadan dua tahun silam. Masih tetap senang dengan suara lembut dan merdu milik Pak Marsono. Iya, dia masih di sana, duduk terdiam lama di Mesjid Al-Muttaqien pada malam terakhirnya beribadah tarawih. Terdiam lama, duduk seorang diri, entah karena dia mengetahui bahwa itu adalah malam terakhirnya atau bagaimana, aku tak pernah tahu. Itu semua terjadi sebelum mesjid itu dipugar dan sebelum kecelakaan pada hari ke-11 di bulan suci mengantarnya pada kondisi koma hingga Sang Pencipta memanggilnya.
*Terima kasih Allah, memberiku kesempatan mengingatnya dan berdoa untuknya setiap saat. Sampaikan selalu salamku untuknya, untuk adikku*