Lorong-lorong bangsal Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI) nampak sibuk, sementara hujan turun deras. Suster jaga, dokter, dan keluarga pasien hilir mudik sesuai kepentingannya sendiri. Antrian terlihat di loket pendaftaran, kasir, dan Farmasi Fakultas Kedokteran (FK) UKI. Aku, bagian dari mereka hari ini, sebelum Sabtu nanti aku harus kembali lagi. Rumah sakit ini, selalu menyenangkan buatku. Meski tak terlalu sering ke sini, tapi aku selalu mendapati keramahan jika terlibat dalam urusan dengan orang di sana.
Bagiku, rumah sakit ini begitu penting. Hingga jika bersoal dengan kesehatan, aku agaknya memilih datang ke sini. Pernah ke tempat lain, tapi tak se-welcome di UKI, Dik. Kamu juga pasti ingat, di rumah sakit ini, kepalamu yang peyang dan bocor itu di-scan. Aku tak kebagian mengantarmu waktu itu, karena lututku tak mampu berdiri tegak. Tapi ada dua kakak kembarmu menemani, aku menanti di rumah sakit sialan itu, yang mengoperasi kepalamu. Yang dokternya teramat dungu untuk sekadar mengurus kekurangan darah kamu. Ah, sudahlah. Aku tak mau memutar lagi memori itu. Hanya ada yang ingin aku sampaikan, tentang sampah. Ya, sampah.
Sepulang dari RS UKI tadi, aku juga melewati RS yang tempat kamu dirawat. Tak berapa jauh, aku juga melalui jembatan Kalibata. Yang kalau hujan, kamu kerap berjalan kaki dari sekolah (SMU Muhammadiyah 4) ke rumah. Kalau tidak membuat macet, genangan air dan gunungan sampahnya menghalangi kendaraan bermotor melintasi jalan itu. Alhasil, pengguna jalan harus membanting stir ke Cawang, untuk tembus ke Kalibata, lewat Jalan Raya Pengadegan.
Kamu, selalu muak dan kesal dengan orang yang membuang sampah sembarangan. Termasuk, jika itu dilakukan oleh ibu kita sendiri. Tapi, Dik, orang di Jakarta, di Bogor, dan tak tahu di mana lagi, masih melukakan hal yang merugikan diri mereka sendiri itu. Buang sampah di kali, sungai, pinggir jalan, kereta api, taman kota, bus-bus, mungkin kecuali di dalam pesawat. Dulu, aku lupa tahun berapa, ada warga yang tertimbun longsoran sampah. Waktu itu kamu masih ada. Dan kamu bertanya, “Longsor sampah pernah kejadian di negara mana, selain di negara kita, Kak?” Saat itu, kamu tak butuh jawaban, karena aku yakin itu hanya sindiran. Lagipula, aku tak tahu negara mana yang warganya pernah terkena longsoran sampah selain di negeri ini (pengetahuanku dangkal).
Tragedi sampah, bersama banjir kiriman, adalah cerita-cerita menakutkan yang selalu dihadapi masyarakat. Tak ada yang suka dengan sesuatu yang kotor dan jorok, tapi hampir semua orang membuang sampah sembarangan. Padahal akibatnya, jadi kotor dan jorok. Aku tak tahu, apakah tempat-tempat sampah yang disiapkan pemerintah setempat tak pernah cukup menampung sampah-sampah itu, tapi ku kira itu persoalan lain. Tugas kita hanya buanglah sampah di tempat yang tak akan mengurangi keindahan kota yang kita tempati ini. Kurangilah kesan, bahwa kota ini makin tua, makin rusak
Sudah terlalu banyak yang kotor di negeri ini. Kalau ditambah lagi dengan sesuatu yang sebenarnya bisa kita hindari, rakyat negeri ini berarti memang tak pernah mau ada perubahan. Aku, menyayangkan hal ini. Bukan membela pemerintah yang payah mengurus banjir dan sampah kiriman, tapi dalam hal ini, kita juga tak punya cukup uang untuk mengeruk dan menyingkirkan sampah kiriman itu. “Lagian, duitnya bisa buat yang lain, ya kalau pada tertib buang sampah,” katamu suatu hari. Lihat saja, sampah kiriman yang teronggok di jembatan Kalibata itu, hingga hari ini masih mengganggu arus lalu lintas. Daerah itu jadi kotor, dan pasti mengantar penyakit ke warga sekitar. Ongkos yang harus dibayar hanya karena malas membuang sampah sebagaimana seharusnya itu menjadi begitu mahal. Belum lagi biaya untuk mengoperasikan eksavator, dan biaya operasional lainnya. Ayolah, lakukan sedikit saja untuk negeri ini. Sedikit dan akan sangat berarti.