Aku menyambangi kebusukan di tempatnya. Dia tak memanggilku! Itu atas inisiatifku sendiri. Tak mengerti aku bagaimana mulanya. Hanya ujug-ujug, aku sudah berada dalam cengkeramannya. Sebenarnya, aku masih bisa lari, karena tak mungkin menghilang dari sini. Tapi kalau lari, aku khawatir kesandung, karena jalan di depanku begitu licin. Aku juga tak tahu, kenapa begitu sulit menghindar dari soal ini. Apalagi, aku juga sukar mendeskripsikan jika dia bertanya, “Kenapa kau berkenalan denganku?” Dengan maut!
Aku sudah bilang, aku tak punya alasan. Sebelumnya, tak sempat terpikir di otakku yang cekak bahwa aku sedang bermain dengan maut. Bercengkrama, bahkan sesekali menyatroni tempatnya. Tapi dia tak percaya, dia anggap aku aneh dengan segala lakuku. Meski akhirnya dia membantah ucapannya lewat ketidaksengajaan, namun aku masih berpikir bahwa aku aneh. Menurut dia. Kata maut tentang aku.
Puih! Kalau boleh memilih, aku tentu tak ingin mengenalnya. Tak perlu sampai kenal, bahkan bertemu sekali saja pun, aku ogah. Andai waktu bisa kembali, aku tidak akan pernah mendekatinya. Hanya, aku enggan mengingkari apa yang aku rasa hari ini dengan maut. Aku tahu aku ada di tangannya. Aku tahu, tinggal sekali cabut, selesai sudah. Mungkin aku sedang membunuh diriku pelan-pelan. Maut itu terus membuntutiku kini. Dia tak ingin melepasku. Dia membelengguku. Meski aku tahu aku tak mungkin bersamanya. Karena jika aku bersamanya, berarti aku mati! (aku)