Langit terang khas Ramadhan. Warna pagi juga begitu cerah ketika aku melihatnya bangun dari tidur sekira pukul 9. Aku sedang duduk di depan komputer pentium tiga yang dibeli mama untuk keperluan skripsiku. Baris-baris kalimat untuk resensi novel yang aku baca dalam satu minggu sudah memenuhi layar komputer. Aku masih membacanya berkali-kali, mengedit, dan menyimpannya ketika dia menghampiri.
“Mau baca?” kataku.
“Mau,” dia menjawab cepat.
Seperti biasa jika aku pulang membawa novel baru. Dia membaca resensi yang aku buat. Deadline hari ini. Bukan pekerjaanku sebenarnya. Tapi karena aku suka membaca novel, aku membantu teman di kantor untuk menulis resensinya. Selesai membaca, dia mengambil ember, mengisinya dengan air bersih dan sabun, menyiapkan sebuah kain lap, dan mulai membersihkan motornya. Handuk yang dia bawa sejak bangun tidur tadi tergeletak di kursi tamu. Aku tak memerhatikannya lagi karena aku bergegas mandi dan bersiap menuju ke kantor. Yang masih aku ingat adalah, dia mandi segera setelah motornya bersih.
Berwudhu, sholat dzuhur, dan mengaji. Ketika aku hampir keluar dari rumah, dia bertanya, “Mau dianterin gak?”
“Lo mau nganterin gw, Tax?”
“Mau…” katanya cepat dengan wajah senang.
Dia segera mencari kunci motornya dan melarikan motor itu dengan kecepatan sedang. Saat berada di boncengan, aku melirik untuk mengetahui berapa kecepatan dia melarikan motor.
“Jangan ngebut, Botax!” itu suaraku setelah melihat angka 40 km/jam.
“Ini gak ngebut Botax. Biasa aja!” timpalnya.
“Tulalit!” aku menyentuh kepala peyangnya. Dia hanya tertawa. Aku turun dari motor dan mendengar bagian informasi di Stasiun Kalibata mengatakan keretaku akan segers memasuki stasiun.
“Cepet kejar keretanya, Tax! Lari gih!” itu suaranya.
Tapi entah kenapa aku enggan melangkah cepat. Aku berjalan pelan, membeli tiket, dan sama sekali tak mempercepat langkah. Aku belum sempat duduk di peron jalur 1 stasiun ketika sebuah suara memanggil namaku, “Kandi! Lo tadi dianter Lilis ya?”
“Iya. Kenapa Gody?” aku bertanya kepada Gody, tetanggaku.
“Lo ke sini deh sekarang. Cepetan!”
“Kenapa?” aku panik.
“Yaudah ke sini dulu. Ada cewek jatoh dari motor. Semoga bukan Lilis….”
Aku tak lagi menghiraukan Gody. Aku berbalik arah dan berlari secepat aku bisa. Napasku memburu, jantungku berdegup sangat keras, dan aku berdoa penuh harap: yang jatuh bukan Lilis. Aku berlari selama lima menit dan masih berharap. Ketika aku melihat motor milik Lilis yang dibawa oleh seorang laki-laki entah siapa, aku seakan berhenti bernapas. Tapi aku masih mencoba menguatkan diri dengan ingin memastikan di mana Lilis. Lalu mataku menangkap seorang gadis yang berjalan lunglai dengan wajah penuh darah, berbaju oranye yang adalah baju milikku, dan aku masih menyangkal apa yang aku lihat. Aku ingin berteriak bukan tetapi itulah kenyataannya.
“Botaaaaaaax….”
Harapanku luruh seketika. Badanku runtuh dan aku berteriak histeris ketika melihat dia duduk di dalam sebuah angkutan umum yang kosong. Si supir ternyata menawarkan diri untuk membawanya ke rumah sakit. Aku duduk di sampingnya, persis di sebelahnya dan melihat darah segar meleleh dari kepala, hidung, telinga, pelipis, dan entah dari mana lagi. Hanya bola mata hitam dan putihnya yang masih terlihat. Sisanya hanya darah.
“Jangan nangis, Botax. Diem ya,” katanya lemah.
Tapi dia tetap duduk tegak, tak bersandar, dan tangannya tak berpegangan pada apapun sementara angkot mulai bergerak. Air mataku dan darah yang mengalir di seluruh wajahnya seakan beradu cepat. Adik, maafkan aku. Ya Allah, berikan tempat yang indah untuk adikku Lilis Rahmawati. Berikan tempat di sisi-Mu. Ampuni segala dosanya dan mohon jadikan segala amal ibadahnya menjadi penolongnya di hadapan-Mu.
11 September 2012 jam 2.33