Ingin Mengenang

Aku membongkar-bongkar ingatanku tentang masa lalu. Mencoba menerobos ke ruang dan waktu saat masih menghabiskan waktu di kampus, 2002-2006. Mengetuk dan meraba pikiranku untuk memastikan apa yang tertinggal di sana tentang seseorang yang kini telah mencapai cita tertingginya: bertemu Tuhannya.

Sayang, aku justru tak mengingat apa-apa kecuali suaranya yang rendah jika berbicara dan tertawa, sikapnya yang sopan dan tenang, senyumnya yang ikhlas, dan karakternya yang sederhana. Iya, sederhana. Suka sekali aku pada orang-orang dengan karakter seperti itu. Aku pasti bukan salah satu dari sahabat terdekatnya selama dia masih ada. Tapi ingatan tentang dia yang bersahaja begitu kental meskipun interaksi verbal mungkin sedikit saja kami lakukan.

Kami mengambil jurusan yang berbeda di kampus, beda fakultas juga, dan tentu saja beda organisasi jurusan. Interaksiku dengannya juga sedikit. Sebagai orang yang suka sekali menyimpan dokumen-dokumen, aku lantas mengaduk-aduk lemari bukuku. Mencari catatan-catatan usang yang menyimpan rapi jalan ceritaku sampai berada di kehidupan yang sekarang. Lalu aku menemukan dua bundel dokumen penting: Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Lembaga Dakwah Kampus Periode 2003-2004 Musyawarah Anggota V di Depok, 26 Juni 2004 dan satu lagi LPJ Badan Permusyarawatan Mahasiswa KM IISIP Jakarta Periode 2005-2006. Semuanya masih mulus, tanpa cacat.

Di laporan pertama, yang ditulis tahun 2004, yang berarti satu tahun setelah dia tercatat sebagai mahasiswi jurusan Hubungan Internasional di kampus, aku tak mendapati namanya. Baik di susunan kepanitiaan, susunan pengurus yang saat itu dipimpin oleh Ali Andhika Wardhana, maupun dalam data base Anggota LDK saat itu. Aku ingat, kami tak pernah secara resmi berkenalan. Aku hanya tahu, dia satu angkatan di bawahku, selalu tersenyum, tenang, dan sederhana.

Suatu hari ketika rapat di ruanganku yang sempit, dia duduk tenang menunggu peserta rapat lain datang. Sesekali dia bertanya tentang apa yang membuatnya bingung tentang tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Saat itu menjelang Kongres Keluarga Mahasiswa IISIP Jakarta Periode 2005-2006. Dalam laporan pertanggungjawabanku, dia tercatat sebagai salah satu panitia di bidang publikasi.

Aku memang tak ingat persis apa saja yang dia laporkan dan ceritakan padaku tentang tugasnya yang harus berakhir sampai berminggu-minggu. Saat itu deadlock! Ada beberapa agenda yang tidak bisa selesai di Cisarua, Jawa Barat, pada 8-9 Juli 2006 sehingga harus dilanjutkan di kampus mulai Selasa, 11 Juli hingga Jumat 14 Juli 2006. Tetapi pada tanggal itu pun Kongres belum juga rampung.

Saat itu memang termasuk hari-hari yang cukup melelahkan di kampus. Tak peduli apapun tugas yang diemban, semua lelah. Aku ingat dia bilang, “Semangat ya, Ndi! Semangat!” sambil tersenyum dan merangkul pundakku. Rangkulan yang menguatkan. Aku ikut tersenyum, bersyukur karena bisa bekerja sama dengan orang-orang yang bisa diandalkan dan tak mengecewakan ketika diandalkan. Aku kira aku memang sangat beruntung ketika di kampus. Selain teman dan sahabatku yang lain, ada orang seperti dia yang tak perlu sampai dua atau tiga kali aku minta tolong, pekerjaannya selesai.

Ah, kamu. Maafkan aku karena hanya ini yang bisa aku ingat. Aku pastikan tidak ada kalimat panjang lebar yang kita ucapkan satu sama lain kecuali dalam forum terbuka yang melibatkan lebih dari kita berdua. Kita hanya saling memberi salam, menyapa, sesekali bertukar pesan singkat untuk hal-hal yang perlu kamu laporkan kepadaku atau ingin aku tanyakan, saling menguatkan dalam nuansa yang tidak terlalu dekat. Bukan! Bukan karena kita tidak suka satu sama lain, tetapi kita memang hanya ditakdirkan untuk saling mengenal secara sederhana. Hanya seperti ini. Hanya sampai aku diberi kesempatan menjengukmu tak sampai 24 jam sebelum kamu menghembuskan napasmu yang terakhir.

Selamat jalan, teman seperjuangan! Terima kasih telah mengingatkanku dengan caramu. Bahwa hidup bukan untuk diingat oleh lebih banyak orang, tetapi apa yang diingat sedikit orang tentang perilaku dan keseharian kita. Pergilah dengan tenang menuju surga-Nya. Mimpimu yang tertinggi telah kamu capai.

Lalu aku hanya mengingat syair ini….

Mati di jalan Allah adalah cita-cita kami tertinggi

Tentu saja kamu  pergi di jalan-Nya, kamu melahirkan anak pertamamu dan pergi

***

Jumat, 19 Oktober 2012 jam 14.12 WIB

Aku dikejutkan oleh sebuah pesan di WhatsApp tentang kepergian seorang teman, Yuni Syamsiah namanya. Aku baru saja menjenguknya semalam. Aku masuk  ke ruang ICU dengan langkah lemas. Melihat lekat-lekat wajahnya yang menurutku tidak nampak pucat. Aku melihat Yuni begitu bugar malam itu meskipun alat-alat medis menempel di wajah dan tubuhnya. Hanya ini yang aku ucapkan, “Assalamu’alaikum, Yuni….”

Aku melihat Al Quran digital menemani telinga sebelah kanannya. Lalu aku beranjak pelan-pelan, tak tahu mau bilang apa kecuali tak hentinya berdoa dalam hati. Penjaga ruang ICU juga memintaku tak berlama-lama, karena kerabat dan kolega yang lain mengantre ingin besuk. Iya, itu terakhir kali aku melihat Yuni setelah sebelumnya aku bertemu pada 19 Mei 2012 di koridor belakang gedung baru kampus tercita dalam acara silaturahim. Yuni hari itu kebagian membawa lalap dan sambal, Ipur membawa ayam, dan Ella membawa cemilan. Tentunya Allah sudah menyediakan hidangan yang lebih lezat untukmu, Saudariku, di surga-Nya. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiiin.

Agenda Kongres berlangsung 8-9 Juli, dan 11-14 Juli 2006

0 Shares

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *