KALAU ini adalah hari kerja biasa, pasti aku merasa sangat ajaib sudah tiba di kantor ketika jam menunjuk angka 6.20 WIB. Maklum, jam masuk kantorku adalah pukul 9 dan berakhir delapan jam kemudian. Tetapi aku memang tidak akan melakukan aktivitas kantoran biasa dan harus berkumpul di kantor jam 6.30 untuk menuju ke lokasi training outbound untuk mengikuti team building. Sudah lama sekali aku tidak mampir menyapa alam dan udara bersih—salah satu hobi yang hampir tak pernah lagi aku jalani, sehingga perjalanan kali ini sangat menyenangkan buatku.
Ketika waktu mengarah ke pukul 7.24 di jam tanganku, bus yang membawa rombongan kantor berjumlah 26 orang bergerak meninggalkan area Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Aku duduk di posisi favoritku, persis di belakang supir bus berkapasitas lebih dari 50 orang, di samping jendela dan menertawakan kemacetan jalan dari arah Pancoran ke Blok M. Sekitar dua jam kemudian, kami tiba di Desa Pancawati, Caringin – Bogor 16730, tepatnya di Lembur Pancawati: Balai Pengenalan Alam & Lingkungan.
Petualangan dimulai! Setelah sekitar satu jam dilakukan internal session untuk mengulang kembali tentang visi dan misi kantor, serta target yang harus dicapai oleh semua tim, kami mulai membaur bersama alam. Pohon rindang dan teduh, serta udara sejuk menemani kegembiraan kami. Kami? Ah entahlah. Karena sebenarnya aku tidak tahu apakah yang lain juga gembira atau justru tidak menikmati. Tapi yang jelas, aku sangat menikmati aktivitas sepanjang hari kemarin. Aku berada di sana bersama seluruh jiwa, raga, dan pikiranku. Tidak seperti biasanya jika sedang di kantor. Entahlah.
Aku tergabung dalam kelompok Alfa beranggotakan delapan orang. Dipandu seorang fasilitator yang mungkin berusia pertengahan dua puluhan kami mengawalinya dengan permainan sederhana yang membutuhkan konsentrasi dan kecepatan penuh. Sayang sekali aku lupa bertanya apa nama permainan itu. Permainan berlanjut hingga waktu memaksa kami istirahat sejanak untuk sholat dan makan siang. Dan aku hanya menyendok sedikit saja nasi serta lauk pauknya. Masakannya enak. Jadi untuk menu, aku beri poin 8 dari 10.
Makan siang berakhir dengan cepat. Jam 13.10 kami sudah dihadapkan lagi dengan permainan yang kali ini membutuhkan keberanian dan pada akhirnya membutuhkan kecepatan berpikir dan mempertimbangkan team work. Jika kalian pernah merasakan flying fox, kira-kira seperti itulah gambaran permainannya. Kalau aku tidak salah ingat, namanya Pumper Pull. Yang harus kami lakukan adalah naik ke ketinggian 10 meter melalui tangga besi yang menggantung di pohon besar. Setiba di atas, kami akan menjejak di penyangga (atau apalah sebutannya) berukuran 1×1 meter untuk bersiap melompat untuk memukul atau menyentuh bola yang menggantung dalam jarak kurang lebih 1-1,5 meter di seberang kami.
Udara dingin memaksaku bolak balik ke toilet sehingga aku mendapat giliran terakhir untuk menjajal tantangan yang sudah berkali-kali aku lakukan sejak masih duduk di bangku SMP itu. Aku bersiap naik dan badanku dipenuhi tali pengaman. Tak ada perasaan takut apalagi gemetar ketika menapak naik. Hanya ada lelah saja. Setibanya di atas: kenapa sekujur tubuhku menjadi gemetar tak terkontrol seperti ini? Suara-suara di bawahku berteriak: jangan lihat ke bawah! Jangan lihat ke bawah!
Sebuah teori yang sudah berkali-kali aku dengar dan bertahun-tahun sebelumnya tak pernah ku lakukan: melihat ke bawah. Tapi kali ini, ah aku berkali-kali melihat ke bawah. Entah karena dorongan apa. Macam-macam kekhawatiran keluar dari mulutku. Kebetulan, managerku di kantor satu tim denganku.
“Pak, ini ikatannya yang kiri kendor,” kataku berteriak ke bawah.
“Gak. Emang begitu. Gak apa-apa kok,” bosku menjawab sabar.
“Aduh kok ngeri ya?” aku kembali bersuara.
“Jangan lihat ke bawah. Tenangin diri sendiri,” sambut temanku yang lain.
“Kamu bisa. Pasti bisa!” ada lagi yang menimpali.
Di atas, aku makin gemetar. Jika aku berhasil melompat dan menyentuh bola itu, aku akan dapat 75 poin untuk menambah poin yang sudah diperoleh timku. Dan itu penting. Tentu saja penting dalam permainan ini. Satu lagi: bagaimana pun aku harus turun dari ketinggian 10 meter itu, yang hanya bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, dan yang paling cepat adalah dengan melompat, menyentuh bola, dan tantangan kali ini selesai. Kedua, menuruni anak tangga yang sama yang tadi aku gunakan untuk naik, yang aku yakini akan lebih sulit dan mengerikan ketimbang sekadar melompat.
Aku mengingat instruksi yang tadi diberikan kepadaku: setelah sampai di atas kamu harus bilang “siap lompat” dan tunggu jawaban “siap tahan” sebelum kamu melompat. Dan aku mulai tidak mendengarkan suara-suara di bawah. Aku sibuk dengan pikiranku yang heran mengapa aku begitu takut melompat. Padahal aku pernah melakukan yang lebih tinggi dari ini pada Desember 2010, lalu pada 2007, 2006, 2005, 2004, dan 2003. Apa yang salah? Padahal teman-temanku sebelumnya, semua melompat dengan cepat tanpa ada masalah. Ada satu dua orang yang terlihat diam sejenak untuk menenangkan diri, tapi tidak ribut seperti aku. Hahahahah aahh sudahlah.
“Siap lompat!” aku mendengar suaraku sendiri berteriak, tanpa melongok ke bawah.
“Siap tahan!”
dan bola itu bergoyang setelah ku pukul. Aku merosot ke bawah dengan perlahan tapi pasti. Tak ada luka. Tanpa lecet seperti yang dialami seorang rekan satu timku. Dan semua masih baik-baik saja. Tidak ada ketakutan. Gemetar hilang. Aku menambah 75 poin untuk timku. Sebuah poin bonus karena sebenarnya waktuku di atas telah habis. Kami hanya punya total waktu 30 menit untuk menyelesaikan sesi itu. Fasilitator kami bilang, setelah kami menyelesaikan beberapa sesi setelahnya: mestinya kita emang gak perlu bilang “jangan lihat ke bawah” karena kalau kita bilang, justru kita akan semakin ingin melihat ke bawah.
Well, aku pulang dengan perasaan lelah dan senang. Kesenangan yang sama seperti yang selalu aku rasakan setiap kali beraktivitas di alam bebas dengan siapa pun dan bagaimana pun karakter anggota yang tergabung dalam tim. Dan saat ini, aku sudah kembali beraktivitas di mejaku, di sebuah sudut di kantor, dengan aktivitas yang sama dengan perasaan biasa.
**
Kami mengakhiri training outbound itu di aula. Aku mendengar seorang trainer berusia 53 tahun mengatakan beberapa hal yang menohok pendengaran dan pikiranku: ketika bekerja kita harus punya body to grow, mind to learn, heart to love, dan soul to build spirit. Tanpa itu, kita tidak akan menikmati pekerjaan kita. Dan diakhiri dengan: not the stronger nor the smarter who can survive, but the adaptable one.
**
At office, 28 June, 2013 at 11.52am