Udara dingin menyeruak menyelimuti seluruh tubuh begitu kaki menjejak. Suasana sepi dan bersahaja menemani langkah-langkah pelan meninggalkan Terminal Mendolo.
Setelah satu tikungan, sebuah bus dengan perawakan sederhana terlihat menunggu penumpang. Bus itu yang akan membawa para wisatawan—berbaur dengan penduduk setempat—menuju kawasan Dataran Tinggi Dieng.
Sebuah dataran yang terletak di enam kabupaten di Jawa Tengah yaitu Banjarnegara, Temanggung, Wonosobo, Batang, Pekalongan, dan Kendal.
Dalam perjalanan dengan jarak tempuh sekitar satu jam, hanya ada hamparan sawah hijau yang meliuk-liuk diterpa angin. Pohon kentang berjajar-jajar menambah syahdu wisata ke lokasi yang berada di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing itu.
Kedua gunung itu menjadi latar belakang bagi setiap pemandangan yang terhampar di luar jendela bus. Daun dan ranting-ranting pohon bergoyang disapa angin dingin.
Bekas embun masih terlihat di ladang pertanian warga. Wisata menapaki dataran tinggi nan molek telah dimulai.
Kendaraan dan bus umum sesekali melintas dengan kecepatan sedang di jalan mulus yang menanjak tinggi. Tak ada diksi lain yang layak disandangkan kecuali kemewahan di tengah kesederhanaan di salah satu wilayah paling terpencil di Jawa Tengah itu.
Memang mewah dan molek. Karena segala kesahajaan, udara segar dan nyaris bersih, serta keindahan itu tak bisa dibayar dengan uang.
Dieng berada di ketinggian 2 ribu meter di atas permukaan laut dengan suhu 15-20 derajat celcius pada siang hari dan bisa mencapai 10 derajat saat malam tiba. Bahkan jika cuaca sedang sangat ekstrim, suhu bisa menembus minus 5 derajat celcius seperti yang terjadi pada Juli 2012.
Saat itu, lahan pertanian kentang terlihat seperti hamparan salju yang memutih. Warga setempat menyebutnya embun upas atau embun yang membeku.
Suhu ekstrim pada titik terendah akan berlangsung antara jam 2 hingga 6 pagi. Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan udara dingin, menyentuh air pada waktu Subuh akan membuat tubuh beku dan kaku luar biasa.
Puncak musim hujan di Dieng adalah bulan Januari, ketika curah hujan bisa mencapai 500 mm/bulan.
Waktu tempuh hampir 12 jam berkendara dari Jakarta. Tetapi rasa letih itu tak ada artinya setelah memandang keelokan alam Dieng dan udara bersih memenuhi rongga dada.
Tak heran jika Dieng disebut sebagai salah satu surga dunia. Kekayaan alam, objek wisata yang beragam, serta peninggalan sejarahnya memang membuat Dieng layak disejajarkan dengan wisata mempesona lainnya di muka bumi.
Ladang-ladang pertanian warga seperti permadani hidup yang memenuhi tanah-tanah nan subur. Kawasan ini layak masuk dalam daftar tujuan wisata utama di dalam negeri.
Setidaknya perlu waktu dua hari untuk menikmati seluruh petualangan di wilayah penghasil kentang nomor satu di Indonesia ini. Tapi jika ingin mengetahui lebih banyak tentang budaya warga setempat, wisatawan perlu tinggal lebih lama.
Bahkan meski tak mengunjungi objek-objek wisata yang ada, hamparan lahan pertanian warga didominasi warna hijau juga merupakan kenikmatan tersendiri. Objek wisata dan sejarah yang menyebar di kawasan yang disebut sebagai kaldera ini seakan tidak pernah habis.
Beberapa di antaranya dan yang paling sering dikunjungi wisatawan yaitu Telaga Warna, Telaga Pengilon, Goa Semar, Goa Jaran, Kawah Sikidang, Candi Bima, Kompleks Candi Arjuna, Kompleks Candi Setyaki, Dieng Plateau Teather, Gunung Sikunir, Kawah Candradimuka, Air Terjun Sirawe, Sumur Jalatunda, Telaga Drigo, dan Telaga Swiwi.
Selain objek wisata tersebut, di Dieng juga masih terdapat kawasan yang memiliki potensi mengeluarkan gas beracun yaitu Kawah Sinila dan Kawah Timbang. Pada 20 Februari 1979, Kawah Sinila meletus disusul gempa.
Letusan itu memicu gas beracun yang keluar dari Kawah Timbang dan menyebabkan 149 jiwa tewas. Kawah Timbang, yang berlokasi di dekat Sinila mengalami kenaikan aktivitas pada Mei 2011 dengan menyemburkan asap putih setinggi 20 meter.
Kawah juga mengeluarkan karbondioksida (CO2) melebihi ambang aman yaitu 1.000 ppm (konsentrasi normal di udara mendekati 400 ppm), dan memunculkan gempa vulkanik. Saat itu, warga di Dusun Simbar dan Dusun Serang diungsikan dan seluruh aktivitas dalam radius 1 kilometer dilarang.
Telaga Warna
Suara kicau burung dan hutan rimbun di sebelah kanan dan kiri jalan setapak menemani wisatawan menuju telaga ini. Disebut Telaga Warna karena konon permukaan telaga berwarna merah, hijau, biru, putih, dan lembayung. Tetapi sejauh mata memandang, wisatawan akan mendapati telaga ini berwarna hijau.
Telaga Merdada
Inilah telaga terbesar di Dataran Tinggi Dieng. Airnya tidak pernah surut dan digunakan penduduk setempat untuk mengairi lahan pertanian.
Di telaga ini, warga kerap memancing untuk menyalurkan hobi. Jika wisatawan ingin berkeliling telaga, penduduk setempat juga menyewakan perahu kecil. Pemandangan indah dengan udara sejuk akan menemani wisatawan selama mengelilingi telaga.
Kawah Sikidang
Meski termasuk kawah vulkanik yang masih aktif, kawah ini paling sering dikunjungi wisatawan. Selain bisa diakses dengan mengendari motor yang disewakan di penginapan, kawah ini juga terbilang unik.
Bau menyengat belerang menyambut wisatawan begitu tiba di areal kawah. Yang unik adalah kolam tempat keluarnya gas di kawah ini selalu berpindah-pindah dari satu titik ke titik lain di areal itu.
Itulah yang membuat kawah ini dinamakan Sikidang, karena seperti karakter kijang (kidang dalam bahasa Jawa) yang sering berpindah-pindah. Kolam besar berisi air dengan campuran lumpur berwarna abu-abu itu memiliki dapur magma yang menghasilkan panas dan energi dengan tekanan yang sangat kuat.
Jika tekanan telah mencapai puncak, akan terjadi letusan dan membentuk sebuah kawah baru. Kawah yang terletak di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara ini juga menjadi sumber mata pencaharian sejumlah penduduk setempat. Mereka menggantungkan hidup dengan menjadi penambang batu belerang yang dijual kepada para wisatawan.
Candi Arjuna
Ini merupakan salah satu candi paling misterius di Asia karena sedikitnya relief dan prasasti yang mengungkapkan latar belakang candi. Candi yang pertama kali ditemukan tahun 1814 ini menawarkan nuansa yang tidak hanya sekadar tempat sembahyang bagi umat Hindu di masa lalu.
Terletak di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, kompleks candi ini menyisakan lima candi yang masih berdiri kokoh di usia seribu tahun. Candi Arjuna merupakan candi utama di kompleks ini selain Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra.
Gunung Sikunir
Wisatawan penikmat matahari terbit jangan sampai melewatkan pesona puncak Gunung Sikunir. Gunung ini berjarak 8 kilometer dari Dataran Tinggi Dieng yang bisa ditempuh dengan dua cara.
Pengunjung yang memiliki hobi hiking, pasti akan dengan senang hati melakukan trekking dengan waktu tempuh sekitar satu jam atau lebih. Untuk melihat sang surya terbit di ufuk timur, trekking bisa dimulai sekitar jam 3 pagi.
Bagi wisatawan yang ingin cepat sampai, bisa menyewa motor atau menggunakan jasa ojek motor yang disediakan pihak home stay menuju Desa Sembungan. Dari desa itu, wisatawan hanya perlu mendaki sejauh 800 meter untuk bisa sampai di puncak Gunung Sikunir.
Gunung ini berada di ketinggian 2.350 meter di atas permukaan laut, terletak di Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Apapun jalur pendakian yang dipilih, pastikan Anda membawa senter dan baju tebal.
Karena jalan gelap dan kabut bisa tiba-tiba turun di tengah perjalanan. Untuk menghindari jalan licin dan becek, berwisata ke Dieng memang sebaiknya dilakukan saat musim kemarau.
Dipastikan, segala peluh dan keletihan selama mendaki akan hilang setelah tiba di puncak gunung.
Dieng Plateau Teater
Teater dibangun sebagai sarana edukasi, yang dilengkapi peralatan audio visual dengan menampilkan potensi wisata Dataran Tinggi Dieng berupa kejadian geologi, seni budaya, objek wisata, serta kehidupan sosial masyarakat Dieng. Dokumenter yang terdapat di Dieng Plateau Teater ini selain menggunakan Bahasa Indonesia juga diterjemahkan dalam Bahasa Inggris.
Bangunan megah dengan gaya natural ini terletak di lereng Bukit Sikendil dengan ketinggian lebih dari 2 ribu meter dari permukaan laut. Teater ini bisa memiliki kapasitas 100 kursi, dilengkapi sarana dan prasarana memadai.
Ada baiknya saksikan dulu “film” Dieng ini sebelum Anda berkeliling dataran tinggi nan elok ini.
Fenomena si Anak Gimbal
Dieng diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa yang masih dilingkupi cerita mistis dan mitos. Salah satunya adalah fenomena keberadaan Anak Gimbal.
Anak Gimbal terlahir normal. Namun pada suatu hari rambut mereka tiba-tiba berubah menjadi gimbal.
Berbagai penelitian yang menyelidiki penyebab munculnya rambut gimbal pada sejumlah anak-anak di Dieng hingga kini belum membuahkan hasil. Tetapi warga percaya, Anak Gimbal adalah keturunan dari leluhur pendiri Dieng dan ada makhluk gaib yang menghuni dan menjaga si gimbal.
Anak Gimbal bukan keturunan. Tak ada satu orang pun yang tahu siapa anak yang akan ditumbuhi rambut gimbal.
Pada Juli 2012, tak kurang dari 25 ribu wisatawan memadati Kompleks Candi Arjuna di Dieng untuk menyaksikan ritual pemotongan rambut gimbal terhadap enam anak. Acara itu digelar dalam Dieng Culture Festival.
Ya, rambut gimbal itu harus dipotong karena jika dibiarkan hingga remaja, maka masyarakat percaya bahwa akan membawa musibah bagi si anak dan keluarga. Prosesi pemotongan dilakukan setelah si Anak Gimbal meminta.
Dalam kesehariannya, keinginan si Anak Gimbal harus dipenuhi, apapun yang diminta dan sesulit apapun mendapatkannya. Jika tidak, lagi-lagi masyarakat Dieng percaya bahwa si anak akan menderita sakit.
Tertarik melihat fenomena ini? Datanglah ke Dieng pada bulan Juli atau Agustus.
Mie Ongklok
Jangan lewatkan sajian kuliner khas Wonosobo ini jika Anda melancong ke Dieng. Boleh dibilang, belum lengkap rasanya ke Dieng tanpa mencicipi Mie Ongklok.
Jangan khawatir tidak menemukan tukang mie ongklok jika berkunjung ke Dieng. Karena wisatawan akan banyak sekali menemukan kuliner khas ini di kios atau pun penjual yang menggunakan gerobak dorong.
Mie Ongklok berbahan dasar mie kuning dicampur sayuran seperti sawi, kubis, kucai mentah, lalu disiram dengan dua jenis kuah kental, dan dimasak dengan cara unik. Mie dan sayuran dimasukkan ke dalam sejenis saringan dan bambu dan di-ongklok (dicelupkan) berkali-kali ke dalam air mendidih.
Mie dan sayuran yang sudah disimpan dalam mangkuk lalu disiram kuah kental berwarna coklat terbuat dari campuran saripati singkong, gula merah, ebi, dan resep rahasia lainnya. Lalu disiram lagi dengan kuah bumbu kacang.
Terakhir, makanan khas itu ditaburi merica bubuk dan bawang goreng. Boleh juga ditambahkan irisan cabai rawit halus bagi mereka yang suka makanan pedas. (kandi/berbagai sumber)