Penjaga Apotek

SELEPAS magrib tadi, bayangan akan kengerian lima tahun lalu menyeruak dengan cepat. Tepatnya tanggal 12 Ramadhan 1429 Hijriah. Aku segera menghambur menuju pintu masuk apotek begitu turun dari motor, dibonceng seorang teman.

Beberapa orang duduk di ruang tunggu. Loket tempat menebus obat kosong tanpa penjaga. Aku mondar-mandir beberapa menit sebelum seorang perempuan berusia awal 30-an menghampiriku, menerima secarik resep dari tangan kananku, dan meletakannya begitu saja tanpa dosa. “Tunggu sebentar ya,” suaranya dingin.

Aku mengangguk pasrah, menanti dengan tak sabar. Satu, dua, empat, tujuh menit berlalu tanpa pergerakan berarti di loket resep obat. Aku menyeret langkahku mendekati perempuan yang menerima resepku.

“Mbak, kok belum dilihat ya resepku? Itu suara parauku.

“Iya sebentar ya, Mbak.”

“Sebentar berapa lama lagi, Mbak?”

“Tunggu aja, Mbak,” dia acuh.

“Kok nunggu? Aku butuh obat itu segera. Dan belum tentu di sini ada. Tolong, Mbak,” aku makin payah.

“Tapi petugas resepnya lagi rapat sama pimpinan, Mbak,” dia melengos.

Tiba-tiba darah mendidih naik ke kepalaku, “Apa Anda bilang?!?!”

Aku melihat wajahnya yang tadi acuh tak acuh terkejut mendengar suara yang tadi menyedihkan berubah murka. “Iya Mbak. Petugasnya lagi rapat sama pimpinan, jadi belum bisa….”

“Heh, Anda panggil dia sekarang! Saya gak peduli dia lagi rapat sama pimpinan kek, sama siapa kek, bahkan kalo dia lagi rapat sama presiden juga saya gak peduli! Panggil dia sekarang! Adik saya sekarat di rumah sakit dan butuh obat itu sekarang juga!”

Si petugas tolol itu lari panik dan menerjang pintu. Memburu anak-anak tangga. Lewat satu menit dia kembali dengan terengah-engahm seorang diri. Belum sempat aku mendamprat lagi, dia buka suara, “Sebentar lagi petugasnya turun, Mbak.”

Aku bergeming. Gemetar. Pahala puasaku pasti sudah habis hari itu. Obat yang aku cari belum tentu ada di apotek ini. Lalu seorang perempuan turun dengan wajah bingung, terlihat dungu. Masuk ke dalam loket resep dan mengambil resepku di meja di sebelahnya. Di luar, sore akan habis satu jam lagi. Cuaca cerah.

“Obatnya gak ada, Mbak,” petugas yang meninggalkan rapat dengan pimpinan itu bersuara pelan.

“Oh terima kasih. Besok-besok jangan sampe loket ini kosong lagi ketika ada orang nebus obat. Saya bisa nunggu, tapi orang sakit gak ngerti nunggu. Anda paham?!?!” aku sengit.

“Iya, Mbak. Maaf. Tadi saya…..”

Aku segera berbalik dan mendorong pintu dengan kasar. Sedih segera menjalar menyerangku dari berbagai arah. Berpikir keras mengingat di mana aku pernah melewati apotek yang mungkin menjual obat untuk menyembuhkan luka mengerikan di kepala adik perempuanku. Dia sudah semalaman koma di rumah sakit.

**

Adzan memanggil-manggil ketika aku hampir sampai di rumah sakit. Berlari aku menyerahkan obat ke ruang dokter. Adikku masih membisu di sana, belum siuman. Wajahnya yang menyenangkan menghiasi pelupuk mataku.

Keesokan hari menjelang adzan dzuhur, dia menghembuskan napas terakhir. Garis lurus pada layar komputer terpampang jelas. Dia pergi untuk selamanya, menghadap Sang Pencipta, bahagia bersama-Nya. Dia sudah tidak membutuhkan obat. Aku masih ingat dia berkata pada ibu sebelum masuk ke ruang operasi dua malam sebelumnya, “Mama doain Lilis ya.” Dia mencium tangan ibu kami untuk yang terakhir kalinya.

**

Jangan biarkan orang yang kamu sayangi menunggu.

0 Shares

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *