Saya menyusuri jalan itu. Lagi. Selalu. Kali ini dengan menekan rasa sedih. Karena, setiap kali melewati jalan itu, saya masih bergidik. Ingin menyesal, meratap, tapi bapak saya bilang, “Kita orang beriman, Neng. Ini semua takdir. Gak ada yang salah dan jangan ada yang disesalkan.” Ya. Bapak benar. Meski kelopak mata saya tidak bisa menahan laju air mata yang ingin tumpah. Titik-titik itu turun satu-satu di kedua mata saya.
Memori Kamis siang, 11 September 2008 itu kembali menyesaki kepala saya. Gemuruh jantung saya tidak terhindarkan. Menjejal serasa ingin menyeruak dalam bentuk bulir-bulir bening yang melewati kedua pipi saya. Siang itu saya pikir akan menjadi siang sebagaimana siang pada biasanya. Tapi tidak. Dari sanalah kesedihan itu bermula. Saya sering berteriak setiap kali ada teman jahil menggelitik saya. Seperti siang itu, saya juga berteriak. Lebih keras, mungkin paling keras. Air mata saya segera meleleh. Tak ada sedikitpun celah di wajahnya yang menyisakan tempat kecuali darah. Innalillahi wainnailaihi raji’un. Dia terluka. Lilis Rahmawati namanya.
Saya kalap. Saya menyesal. Saya meminta maaf entah kepada siapa. Lilis tidak bisa bertahan sampai akhirnya malaikat menjemputnya. Saya berserah diri. Tapi saya tidak bisa lupa kalau jalan itu sudah mengganggu adik saya. Dia jatuh bersama sepeda motornya. Dia jatuh karena menghindari lubang di jalan yang superrusak itu. Kini, jalan itu sudah mulus. Mungkin menjadi jalan termulus yang pernah saya temui.
Orang bilang, “Setelah ditulis di koran, jalan itu jadi rapi sekarang, ya. Coba kalo gak diberitain, mungkin masih rusak. Mau nunggu berapa korban lagi, ya?” Semua orang bilang begitu. Kamu, sudah menjadi pahlawan bagi semua orang yang melintasi jalan itu. Bagi semua orang yang telah terjerembab di tempat kamu terpental.
To be continued…