MALAM minggu yang cerah tanpa hujan di Depok merupakan kabar gembira buatku. Rumah mungil yang baru direnovasi itu selalu membuat kami was-was kala hujan disusul angin. Air tampiasnya deras mengguyur halaman belakang dan dapur, menyisakan pekerjaan bagi kami setelah reda. Rumah itu sangat membutuhkan kerai, tapi kami belum pernah merencanakan untuk membelinya. Sungguh aneh.
Aku sedang berusaha memotong kentang untuk dibuat balado ketika ponselku menerima sebuah pesan: di rumah gak? Kita mau ke sana.
Cepat aku membalas: iya, mampir aja.
Dia sedang menyusun lemari bongkar-pasang yang sore tadi kami beli di sebuah toko ritel yang terletak di muka pasar tradisional, yang jika menurut peraturan presiden posisinya jelas melanggar batas jarak. Ah sudahlah. Ini malam minggu, waktunya untuk menyenangkan pikiran tanpa perlu mengusik pelanggaran peraturan mengenai batas jarak pasar modern dan tradisional.
“Siapa?” tanyanya sambil memukul lemari dengan palu.
“Nia dan Titik mau ke sini. Kita makan french fries ya,” aku menyahut.
“Boleh. Alhamdulillah ada tamu ke sini,” katanya.
“Iya. Seneng ya punya tetangga yang dikenal. Meskipun gak deket banget.”
Sebenarnya hari kedua di rumah, aku sudah kedatangan sahabatku saat kuliah. Dia bahkan mengirimkan daging qurban dari ayahnya untukku. Tapi saat itu, dengan kondisi yang masih jauh dari layak untuk bertamu karena semua bentuk barang berserakan di setiap sudut. Sahabatku ini juga sudah beberapa kali sebelumnya datang menengok proses renovasi rumah. Selain itu, ada teman yang mendokumentasikan pernikahan kami juga sempat mampir. Atau petugas pengantar perabot rumah yang kami pesan. Jadi yang akan datang ini benar-benar tamu dalam keadaan rumah yang normal.
Kalau mengukur jarak dari pusat kota, atau setidaknya Pengadegan tempat tinggalku dulu, membutuhkan waktu satu jam bermotor untuk sampai di rumah ini. Bagi kami, entah terpaksa atau tidak, rumah ini tidak terlalu jauh. Masih cukup terjangkau dari pada harus mengontrak rumah sana sini dan menghabiskan uang tanpa jejak. Rumah ini juga cukup sinar matahari, aman, dan sesuai namanya: asri. Aku betah, dan sempurna untuk menjauhkan diri dari hiruk pikuk kota.
Tamu pun tiba. Ternyata bukan dua orang, tetapi empat. Semuanya adalah teman kampus. Dua orang tetangga yang tinggal di blok depan, dua orang lagi rumah di perumahan seberang. Satu dari mereka adalah anggota organisasi di mana aku banyak menghabiskan waktu, seorang lagi pernah berkegiatan sama di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), seorang lagi teman kiri, dan satu lainnya tak pernah ku kenal. Entah di sudut mana aku pernah melihatnya, entahlah.
Obrolan tentang kampus mengemuka, tapi yang paling seru adalah bahasan mengenai penolakan warga atas perluasan tempat pembuangan akhir (TPA) di wilayah kami. Aku dengar kabar penolakan itu saat baru beberapa hari tinggal di sana. Aku juga melihat warga bersiap melakukan demonstrasi. Spanduk di beberapa sudut, kerumunan warga, serta bisik-bisik tentang kekecewaan terhadap Nurmahmudi Ismail, Walikota Depok. Karena aku minim informasi, jadi aku lebih banyak menyimak cerita temanku. Sampai akhirnya….
Akhirnya, “Ayo Kandi ikut demo. Bau sampahnya parah nih kalo sampe perluasan TPA jadi sampe daerah sini. Emang lo mau?”
“Gak maulah,” kataku santai sambil melanjutkan, “Jadi gw harus demo ya? Di kampus demo, waktu dipecat karena gaji dipotong dan tunjangan gak dibayar gw demo, dan sekarang jadi warga di sini pun perlu demo???” Kalimat itu lebih untuk diriku sendiri. Lalu kami semua terbahak, mengangguk, lalu terbahak lagi.
Sebuah suara menyahut, “Masa di kampus doang berani demo.” Lalu tawa lagi, sampai lelah.
Secara prinsip, aku tidak pernah keberatan untuk ikut demonstrasi. Tapi, ah, tidak bisakah aku jauh dari aktivitas demonstrasi? Bukankah aku tinggal di sini agar lebih tenang dan jauh dari hiruk pikuk. Ada tawa tertahan, ingin menertawakan diriku sendiri. Mungkin aku kena batunya karena saat kerja pun aku sama sekali senang menyaksikan orang yang benar-benar menyampaikan aspirasinya dengan cara demonstrasi, ketika diskusi dan mediasi tidak lagi menjadi solusi. Ah, tamu pertama yang datang ke rumah kami membuat aku makin yakin di mana seharusnya aku berada. Mereka pulang, menyisakan rencana untuk mencari tahu tentang perluasan TPA.
Dari internet, aku peroleh berita perluasan TPA dimuat di Tempo, Media Indonesia, Koran SINDO, Viva, Okezone, dan lainnya. Ratusan warga di Pasir Putih terakhir kali melakukan aksi demonstrasi pada 17 Oktober 2013 dengan melempari sampah ke Kantor Walikota. Mereka menolak rencana Pemerintah Kota Depok memperluas lahan TPA Cipayung hingga 6 hektar ke Kelurahan Pasir Putih karena TPA Cipayung kelebihan kapasitas. Dan aku juga baru tahu bahwa Depok, kota dengan luas 200,29 kilometer persegi, hanya memiliki satu TPA saja.
Warga juga marah lantaran Nurmahmudi Ismail sempat mengklaim bahwa rencana yang akan menghabiskan anggaran sekitar Rp 25 miliar itu telah mendapat restu dari warga setempat. Dia juga meyakini warga bahwa perluasan dilengkapi dengan buffer zone sehingga TPA tidak akan menghasilkan udara yang bau. Tapi tentu Walikota yang mengusung Depok sebagai KOTA LAYAK ANAK itu lupa kalau air tanah juga akan tercemar. Lalu beberapa informasi lainnya. Tapi di kepalaku terngiang, waspadalah dengan tamu pertamamu! 😀