Masakan bukanlah topik bahasan yang menarik buatku, kemarin, dulu. Bukan hanya tidak menarik, aku sama sekali tidak punya bayangan tentang respon apa yang harus aku sampaikan jika beberapa teman mulai menyinggung soal bumbu dapur. Bahkan pengetahuanku tentang lengkuas dan jahe baru aku dapatkan pekan lalu saat merealisasikan membuat bumbu ikan mas goreng.
Aku cuma bisa salut ketika seorang pembina Pramuka-ku saat sekolah dulu menyiapkan menu makan untuk kami yang mereka masak sendiri. Jangan salah, meskipun di kaki Gunung Salak tetapi rasa masakannya enak. Tidak cuma mi atau nasi goreng. Bukan hanya di sekolah, senior di kampus juga jago masak, bahkan yang laki-laki. Ah, aku bisa apa. Dan saat itu, aku selalu bilang pada diriku sendiri, “Nanti kalo udah waktunya juga gue mau masak, dan gue pasti bisa.”
Itu juga jawaban yang aku berikan ketika Bapak menyinggung soal masak, “Perempuan harus bisa masak, Neng. Ayo masak sama Bapak.”
Sepanjang percakapanku dengan Bapak, makin aku bertambah umur tekanan untuk harus bisa masak makin besar. Jawabanku tetap sama. Lalu Bapak pasrah, “Benar ya? Nanti harus bisa. Ayo deh Bapak ikut buktiin aja omongan kamu nanti.”
Dua pekan sebelum menikah, Ibuku pun makin sering terdengar menjerit dari dapur, “Ayooo belajar masaak!” Dan aku yang batu tetap bergeming. Kadang aku menertawakan saja diriku yang sama sekali tidak tertarik berasap ria di dapur. Entah dari mana keyakinan itu karena cuma satu kalimat itu saja yang jadi andalanku, “Kalo udah waktunya juga bisa.”
Lagipula kalau dipikir-pikir, ini juga salah Ibuku lho sampai aku tidak bisa masak. Dulu sekali, saat masih berseragam merah putih hingga awal sekolah menengah pertama Ibuku lebih suka menyuruh kami belajar akademik ketimbang membantu beliau memasak. “Udah jangan ngerecokin. Belajar aja sana di kamar,” itu suara Ibuku.
Yah, mungkin ini alasan aku saja karena pada dasarnya aku dulu sama sekali tidak mau berurusan dengan dapur. Panas. Pengap. Berminyak. Perih karena mengiris bawang. Ah, malas sekali. Lantas sekarang?
Belanja pertamaku ketika malam pertama pindah rumah menghabiskan angka sekitar 650 ribu rupiah, mahalnya! Hiks! Segera setelah membayar di kasir sebuah supermarket yang Marketing Communication-nya menyebalkan, aku baru tahu alasan para ibu sangat menyoalkan perbedaan harga yang bagi aku sebelumnya tidak seberapa. Dari jumlah 650 ribu itu, sejumlah rupiah di antaranya aku habiskan untuk membeli semua makanan siap masak seperti kentang siap goreng, sambal masak produksi mantan klienku, mi instan, roti bun, daging ham, telur, minyak goreng, MSG (Monosodium Glutamate), penyedap rasa lainnya, garam, dan entah apalagi. Sayuran segar dan lauk pauk lainnya aku beli di Pasar Parung
Sayur sawi putih dan ayam goreng adalah lauk pertama kami di tengah rumah yang masih berantakan dan tanpa lemari. Di luar persoalan memasak aku yakin situasi kami hari itu lebih baik dari banyak orang lainnya yang pernah merasakan hari-hari pertama mereka hidup menjauh dari orang tua. Hari-hari pertama aku berpeluh di dapur masih sangat mengandalkan micin atau penyedap rasa lainnya. Asing bagiku jika hanya menaburkan garam. Seorang teman lelaki yang main ke rumah sempat berujar, “Wuh, bau ma**ko-nya nyengat banget nih.”
“Maap dah, amatir,” aku terbahak, menjawab sekenanya.
Sambal masak juga kerap aku gunakan untuk membuat nasi goreng di pagi hari, atau menumis. Aku bahkan tidak bisa sekadar membuat sambal goreng. Payah sekali. Tapi aku sama sekali tidak terbebani. Aku juga tidak mau terpaksa dan tertekan karena harus memasak. Kepada calon suamiku sebelum menikah aku jujur bahwa aku tidak pernah memasak. Aku juga tidak menjanjikan bahwa aku akan memasakkan makanan untuknya. Aku hanya bicara pada diriku sendiri bahwa aku akan membuktikan ucapanku, “Nanti kalo udah saatnya gue mau masak, dan gue pasti bisa.” Aku mencoba mempertanggungjawabkan ucapanku.
Tanpa sama sekali memporsir diriku sendiri untuk harus bisa memasak dalam waktu cepat, dan tentu saja tidak ada tekanan dari suamiku untuk harus memasak untuknya, aku mulai mencoba resep-resep dari internet, dan dari buku hadiah pernikahanku. Tidak jarang aku menelepon seorang teman untuk sekadar menanyakan, “Daun serai dimemarkan maksudnya apa sih, Ika?” Setelah tertawa kecil, Ika menjelaskan. Saat dia mampir ke rumah, aku juga diberi sedikit pengetahuan untuk menghindari bumbu dapur dari busuk dan sejenisnya.
Teman lain yang juga aku ganggu tengah malam dengan teleponku dengan senang hati menjelaskan ketika aku bingung. “Ketumbar disangrai diapan sih, Bulz? Gue keder,” aku terbahak. Oh, itu digoreng tanpa minyak, tidak perlu lama, cukup sampai ketumbar berubah warna menjadi kecoklatan. Teman aku ini sudah mengenal dapur sejak usia belia, dan merupakan tamu pertamaku saat aku benar-benar baru pindah rumah.
Aku perlahan meninggalkan penggunaan bahan dan bumbu cepat saji. Bahkan aku juga melupakan keberadaan penyedap rasa dan fetsin dan menjauhkan mereka dari masakanku. Tidak ada mi instan kecuali jika sedang terdesak dan lelah. Buku resepku pun bertambah.
Sekarang aku makin akrab dengan lada putih, mulai paham bahwa ada banyak tepung yang harus dikenal meskipun baru mengenalnya lewat bungkus masing-masing tepung: tepung sagu, tepung beras, tepung terigu, dan belakangan tepung maizena yang masuk dalam bahan membuat Kangkung Saus Tiram. Kalau masih ada tepung lainnya, jenis itu belum ada di lemari piringku. Aku juga menandai menu-menu yang mau aku hidangkan hari-harinya. Dasar pemilihan menu apa yang mau aku masak sangat sederhana: harga bumbu dan bahan utamanya terjangkau serta mudah dimasak karena alatnya sudah tersedia di dapur. Disparitas harga yang cukup jauh antara memasak sendiri dan makan di luar juga menjadi bahan pertimbangan tersendiri bagiku ketika menikmati waktu-waktu saat aku memasak.
Belakangan ini kami berdua yang adalah penyuka steak (tenderloin ataupun sirloin) juga menjadi vegetarian. Bukan karena ingin hidup sehat atau mengikuti tren, tetapi saldo kami masih belum cukup untuk terus menerus belanja daging atau pun ikan. Meskipun setelah melalui tiga bulan pertama menikah, kondisi finansial kami mulai stabil karena sudah melunasi kulkas, kasur, lemari pakaian, lemari bufet, rak piring, serta perlengkapan dapur.
Jika boleh sesumbar, aku merasa sudah khatam menghabisi pelajaran sekolah hingga kuliah meskipun bukan jadi yang terpandai, mendebat di ruang sidang sebuah kongres mahasiswa yang panas dan sarat nuansa politik kampus saat itu, memimpin sidang kongres mahasiswa yang dihadiri oleh golongan dari kanan hingga kiri (walaupun untuk yang satu ini aku masih belum khatam memahaminya). Aku juga sudah kenyang dihujani surat peringatan (SP) dari kampus, hingga demonstrasi menuntut pembayaran asuransi kerja dan berujung pemecatan. Kini giliran aku mengurusi urusan domestik. Selain Soto Ayam Lamongan, Perkedel Tempe, Kangkung Saus Tiram, Setup Sayuran, Tempe Mendoan, Ikan-Tahu Bumbu Bawang, serta menu wajib Kentang Balado, aku masih mau munundukkan bumbu lainnya, menaklukkan dapur sebagai bentuk pertanggungjawaban atas ucapanku dulu kepada Bapak dan untuk memuaskan kami: aku dan kekasihku.