Yang (Katanya) Kebebasan Berekspresi

Indonesia adalah negara bebas. Hal ini tertuang secara tegas dalam undang-undang dasar negara ini. Lihat Pasal 28 UUD 1945 yang menegaskan kebebasan itu, kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, kebebasan berekspresi.

Pada saat yang sama, setiap orang juga berhak dihargai. Dan sayangnya, kebebasan bereskpresi itu tidak serta merta menjamin kebebasan untuk menghina, menyakiti, dan merendahkan orang lain. Dalam kasus Luna Maya yang telah menyakiti, menghina, dan merendahkan pekerjaan orang lain, tidak bisa disebut sebagai kebebasan berekspresi!

Dalam Twitternya, Luna menulis, “Infotemnt derajatnya lebh HINA dr pd PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!!”

Tidak tahu, apa yang membuat Luna menjadi se-berang itu kepada para pekerja infotaimen. Jika Luna merasa disakiti oleh awak infotaimen, tak seharusnya Luna mendamprat semua orang yang bekerja di institusi itu. Tak hanya gusar, Luna juga menyakiti, menghina, dan merendahkan pekerjaan mereka.

Bahkan, kita menghina pelacur pun tak boleh. Ada yang mengatakan, kemarahan Luna kali itu adalah puncak dari kekesalannya pada para pekerja infotaimen (dan mungkin mewakili) semua orang yang kesal kepada awak infotaimen karena sering menggubris urusan rumah tangga orang lain, menggunjingkan masalah pribadi orang, dan menyampaikan sesuatu berlatar gosip belaka. Ini tidak kontekstual, Bung!

Laporan para pekerja infotaimen ke Polda Metro Jaya (meski sangat disayangkan dengan beberapa alasan), tentu saja berdasarkan pada konteks hari itu. Hari di mana terjadi perseteruan antara Luna dan para pekerja infotaimen yang “dilansir” Luna via Twitter.

Jika disebutkan ini adalah puncak kegusaran yang telah ditahan-tahan, luapan penghinaan Luna tentu tidak bisa diterima oleh para pekerja infotaimen itu. Selain tidak kontekstual, siapa yang mau dihina, disakiti, dan direndahkan di hadapan publik?

Kalau sejak dulu tak suka dengan pekerja infotaimen karena ulah mereka di lapangan atau saat pemberitaan, bisa lho diprotes dan dikecam. Karena bagaimana pun, tak bisa dimungkiri bahwa pekerja infotaimen, jika mengaku sebagai wartawan, tak jarang menyalahi dan mengangkangi undang-undang pers.

UU No 40/1999 yang menjadi dasar bagi profesi jurnalis itu sering digilas oleh pekerja infotaimen dengan menyampaikan sesuatu yang tidak mendidik kepada khalayak. Contohnya banyak, dan mungkin hal itu juga sebenarnya diamini oleh para pekerja infotaimen di lapangan.

Namun, atas nama tuntutan pekerjaan (meksi lebih tepatnya tuntutan kantor atau pemilik modal), itu seolah-olah menjadi benar dan tak mungkin ditolak. Sampai di sini, saya sependapat karena bagaimana pun juga, jika tak mengikuti kemauan kantor, risiko kehilangan pekerjaan sangat besar.

Tak hanya pekerja infotaimen, para jurnalis juga tak mungkin lepas dari kepentingan si empunya uang. Dan, ini soal lain.

Pada kasus Luna yang berhadapan dengan para pekerja infotaimen, makian Luna tak bisa diterima. Pernyataan itu adalah tudingan tak mengenakkan yang melukai hati. Kalau sejak dulu Luna ingin protes terhadap pemberitaan, hal itu halal dilakukan oleh sumber berita.

Apalagi jika memang pemberitaan oleh media tersebut tidak berdasar fakta. Luna bisa mengacu pada UU Pers di mana media dan jurnalis harus menyampaikan informasi yang benar, tidak hanya bersumber dari gosip.

Jika mau lebih maju sedikit, polemik ini bisa dijadikan dasar untuk membicarakan “status” para pekerja infotaimen. Aktivitas mereka; mencari, mengumpulkan, menulis, dan menayangkan berita adalah pekerjaan profesi jurnalis.

Namun, jika melihat ada saja infotaimen yang sesumbar menceritakan aib orang lain, mengajari masyarakat bergunjing dari pagi sampai malam hari, dan memberitakan tanpa fakta, ini bukan pekerjaan jurnalis.

Kalau mereka mencari pembenaran dengan mengklaim diri untuk menghibur, tidak semestinya dilakukan dengan cara negatif seperti itu. Tapi bahwa infotaimen juga berperan besar memberitakan hal positif tentang dunia perfilman, akting, seni, musik, dan lainnya, ini patut diapresiasi.

Nampaknya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers atau sejenisnya harus lebih kritis dan tegas menyikapi dunia penyiaran dan media cetak di Indonesia. Agar para pemilik modal tidak seeenaknya memaksa awaknya untuk menggunjingkan aib orang lain di depan publik.

Satu lagi, lahirnya infotaimen, tak bisa dibantah telah membuka lapangan kerja baru bagi ribuan tenaga kerja siap pakai di Tanah Air. Jika ingin menyoalkan keberadaan mereka, apalagi sampai ada pernyataan tak bertanggung jawab seperti, ‘hapuskan infotaimen dari bumi Indonesia’, tanpa solusi yang pasti akan ke mana para pekerjanya, ini juga tak elok.

Janganlah menyelesaikan masalah dengan masalah. Tak bisakah kita, yang mengaku cerdas, berpikir lebih rasional untuk menyikapi masalah ini? Jika tak bisa memberi solusi, diam sajalah. Jangan membual dan memaksa orang lain mendengar ocehan yang tak bertanggung jawab.

Masalah ini adalah mata rantai tentang kehidupan orang banyak. Tak bisa menuntaskan satu soal, tanpa melibatkan soal yang lain. Ini tentang kemanusiaan. Hak Luna sebagai manusia yang gusar oleh pemberitaan misalnya. Hak pekerja infotaimen untuk dihargai dan bekerja. Dan hak rakyat Indonesia untuk mendapat informasi yang mendidik.

*Bisakah kita pakai hati dan sisa otak kita menyikapi banyak hal yang mendera bangsa ini?*

My Room,
December 22th, 2009
at 10.18 am

0 Shares

0 responses

  1. hasrat ingin mengatahui tentang orang lain itu sudah menjadi sifat yang mendarah daging. hasrat ini memang dahsyat. semua orang, cenderung ingin mengetahui tentang orang lain disekitarnya. rasa ingin tau inilah yang dibidik oleh pekerja infotainment, dan mereka jeli menangkap itu. Infotaiment saya pikir susah dihapus.. bahkan dengan fatwa sekalipun.

    Yang perlu diubah mungkin cara mereka dalam memberitakan. jika saja mereka beranggapan bahwa mereka jurnalis, sebaiknya dari mereka juga kode etik diperhatikan. 9 elemen jurnalistik bill kovach perlu di baca lagi.

    saya pikir, infotainment akan lebih nikmat disajikan ke pemirsa dengan cara2 yang santun, dan bukan menggumbar gossip semata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *