Mata kuliah Komunikasi Multikulturalisme membuat saya membaca beberapa penelitian untuk mengerjakan tugas demi tugas, maupun untuk ujian akhir semester (UAS) yang baru saja berlalu. Yang paling saya ingat adalah membaca penelitian Bapak I Made Purna dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) berjudul “Kearifan Lokal Masyarakat Desa Mbawa dalam Mewujudkan Toleransi Beragama”.
Penelitian yang dilakukan tahun 2015 tersebut dilakukan di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, NTB. Menurut kakak sepupu saya, lokasinya berjarak 1 jam berkendara dari Desa Ncera, kampung kelahiran kedua orang tua saya.
Dalam penelitian itu disebut, pemberian nama bagi masyarakat setempat dilakukan dengan berlatar pencampuran agama, Islam dan Kristen maupun Katolik. Seperti Yohanes Ibrahami, Anderias Ahmad, Bernadus Abu Bakar Wrg Prote, Petrus Herman Fabianus Tabi, Markus Jafar, Anastasia Nuraini, Kristin Siti Hawa, maupun Marta Hadijah. Apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare.
Selanjutnya saya juga mengutip buku yang ditulis dosen mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif yang mengajar saya, Prof Deddy Mulyana. Dalam bukunya “Komunikasi Lintas Budaya” dia juga menyinggung soal betapa penting nama bagi identitas seseorang.
Seperti disebutkan Palakshappa (1971: 274), nama pribadi adalah unsur penting identitas seseorang dalam masyarakat, karena interaksi dimulai dengan nama dan hanya kemudian diikuti dengan atribut-atribut lainnya. Bahkan nama juga menunjukkan kesadaran seseorang. Perubahan nama yang tadinya non-Muslim menjadi Muslim adalah salah satu pertanda perubahan kesadaran jati dirinya dan hubungan dengan alam semesta.
Maka Margaret Marcus menjadi Maryam Jamilah, Cat Stevens menjadi Yusuf Islam, Mary Vanderdrift menjadi Aminah Abdullah, dsb. Nama dan artinya begitu penting hingga pernah masyarakat Jepang ribut gara-gara seorang anak dinamai dengan nama yang berarti setan atau iblis. Masalahnya bahkan dibawa ke pengadilan. Tampak jelas, masyarakat non-Muslim saja hirau dengan nama (Mulyana, 2016: 498-499).
Dalam konteks tulisan Prof Deddy, apakah pernyataan Shakespeare berlaku?
Tidak, saya bukan berniat memindahkan tugas kuliah saya dalam blog ini. Cerita itu hanyalah latar belakang kisah saya tentang nama tiga orang teman. Nama yang sama, orang berbeda, tapi secara umum sifatnya sama: suka menolong.
Hari ini saya berencana beberes kamar kos karena akan keluar hari Sabtu sore. Mulai semester depan (semester 2), saya akan pindah kos ke Jatinangor, agar lebih banyak waktu untuk: belajar. Bukan biar terlihat pintar atau kayak orang bener, tapi demi tanggung jawab sama suami yang memberi beasiswa bayarin kuliah Rp15 juta per semester.
Perkuliahan semester dua baru akan dimulai pertengahan Februari, sehingga saya berencana tak jadi anak kos sepanjang Januari, yang berarti hemat satu bulan biaya kos yaitu Rp1 juta. Hiks. Barang-barang yang ada di kamar kos rencananya akan saya boyong ke rumah di Depok.
Tak punya banyak barang di kos di Jalan Gagak, Bandung, saya kira tidak akan terlalu sulit beberes. Memang. Tapi kok ada satu unit bedcover, satu karpet ukuran 1,5 meter x 1 meter, dua boneka, dua piring, dua gelas, dua botol air minum, beberapa sendok garpu, pisau, kotak makan, keset, ember, galon air mineral, gantungan baju, yang sepertinya bakal merepotkan kalau harus diangkut ke Depok.
Berniat merepotkan, saya menghubungi Dyah, teman satu kos ketika saya masih menyewa kamar di (Dago) Pakar Barat. Seperti biasa, Dyah baik dan bersedia menerima titipan beberapa barang yang tidak akan saya ajak ke Depok. Tapi hari ini, Dyah baru saja meninggalkan Bandung menuju Jakarta dan baru kembali 26 Desember. Sementara saya, 23 Desember akan bertolak ke Depok dan baru beredar lagi di Bandung 24 Januari nanti.
Jadilah Dyah benar-benar saya repotkan. Dia yang akan mengambil barang-barang titipan saya di kamar kos sekembalinya dari Jakarta. Sudah nitip, dia pula yang mengambil barang-barang titipan itu ke kos, sementara saya sudah enak-enak selonjoran dan liburan di Depok. Betapa besar utang budi saya kepada Dyah.
Dyah lainnya yang pernah saya repotkan adalah teman satu kantor. Kebetulan saya dan Dyah masuk kerja di hari yang sama sehingga kami berdua benar-benar merasa senasib dan sepenanggungan. Jika ada masalah di kantor, kepada Dyah-lah saya bercerita, begitu juga sebaliknya. Hingga hari ini pun, kami masih tetap kontak karena entah bagaimana, kami mengundurkan diri dari kantor pada bulan yang sama, empat tahun yang lalu.
Dia baru membangun rumah di Citayam, berjarak 4 kilometer saja dari rumah saya. Mungkin memperpanjang kesempatan saya untuk suatu waktu juga merepotkan dia kembali.
Seorang Diah lainnya adalah teman kecil. Teman mengaji, teman sepermainan. Abangnya adalah guru mengaji saya. Entah sudah berapa banyak kebaikan yang mereka lakukan untuk saya dan keluarga. Termasuk ketika adik saya meninggal, 13 September 2008, mereka banyak sekali membantu. Terutama mendoakan dan berada di pemakaman.
Bahkan jika satu Diyah lagi ditambahkan, saya kerap merepotkan seorang Diyah, panggilannya Meniex, untuk menanyakan tugas kuliah Metode Penelitian Kuantitatif. Baru-baru ini bahkan saya diingatkan Facebook bahwa Mbak Diyah ‘Meniex’ ini sudi membonceng saya dalam perjalanan selama lebih kurang satu minggu hilir mudik Padang-Pariaman, Sumatera Barat, ketika kami sama-sama meliput kondisi pascagempa di wilayah itu tahun 2009.
Jika bagi Shakespeare, (mungkin) tiada makna dalam sebuah nama, bagi saya setiap nama memiliki arti penting. Pengalaman saya berinteraksi dengan pemilik nama Dyah, Diah, atau pun Diyah, selalu menarik dan menyenangkan. (*)