Gelap sudah menguasai seluruh langit ketika aku berada di Jalan Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Usang sekali jalan ini buatku. Pertengahan tahun 2002 adalah terakhir kali aku melewatinya setelah sejak 1996 melintasi jalan itu hampir setiap hari. Tapi dulu itu, (seingatku) belum ada Teater Salihara.
Aku sebenarnya agak penasaran dengan tampilan fisik teater ini jika tak sengaja melintas. Sederhana, tapi menarik, tempatnya teduh, rimbun. Aku tak lama menikmati suasana di sana karena bergegas memasuki ruang teater yang katanya mampu menampung lebih 200 orang. Lampu di kursi penonton sudah padam ketika aku memasuki teater, suara seorang perempuan pembawa acara mengiringi langkahku mencari kursi kosong. Tapi aku abai pada wajahnya.
Posisi strategis, di tengah antara kursi-kursi dan pembaca puisi. Begitu duduk, mataku langsung tertuju pada perempuan pembawa acara. Dan… Ya Tuhan, itu dia: Ayu Utami! Aku membaca beberapa novel “telanjang”-nya, meskipun tak bisa melekatkan ceritanya di memoriku. Yang parah, aku juga sering tak paham dengan ceritanya. Materinya kadang berat untuk kapasitas otakku yang pas-pasan seperti Bilangan Fu itu. Meski tak terlalu menyukai “ketelanjangan”-nya, tapi aku menghargai karya-karyanya, karena aku tak bisa membuat seperti dia telah membuatnya berkali-kali.
Setelah Ayu Utami, si pembawa acara. Lalu, Acep Zamzam Noor, Joko Pinurbo, Remy Sylado (Alif Danya Munsyi), dan D Zawawi Imron. Mereka adalah orang-orang yang membuatku tercekat malam itu. Tercekat karena aku bukanlah orang yang begitu mencintai atau mengikuti perkembangan seni negeri ini. Jadi, penampilan mereka dalam “Mendaras Puisi: Pembacaan Puisi di Bulan Puasa” sangatlah luar biasa buatku. Dan aku yakin, bagi semua yang hadir malam tadi. Keempat orang itu mampu membuat kami di teater itu terpingkal dan jatuh cinta dengan isi puis serta cara mereka membacanya.
To be honest, aku tak pernah tahu Acep Zamzam Noor itu. Mendengar namanya juga sepertinya tak pernah. Ah, kasihan sekali. Padahal puisinya telah cukup menghilangkan penat. Menyusul sebagai pembaca puisi kedua, Joko Pinurbo (Jokpin). Kalau dia, aku telah lama mendengar namanya. Tapi tak sekali pun melihat bentuk manusia yang pernah mengenyam pendidikan pastor itu. Tak juga terlalu ingin tahu apa saja karya-karyanya.
Hanya saja tadi malam, menyenangkan, menghibur, dan menyentuh sekali mendengar dia membacakan Penumpang Terakhir, Mudik, Perjamuan Petang, Penjual Bakso, Sedekah, Telepon Tengah Malam, Kredo Celana, Celana Ibu, dan Dengan Kata Lain. Penjual Bakso, Sedekah, dan Dengan Kata Lain berhasil membuatku jadi emosional. Deret kata-katanya menusuk dan membuatku mengamini. Atau bacalah Penumpang Terakhir jika tak sempat melihat aksinya di pentas Teater Salihara dan tertawalah sekeras kamu bisa selain memetik pesan moral di dalamnya.
Jokpin telah kembali duduk di kursinya ketika seorang petugas teater mengganti standing mic menjadi lebih rendah. Lalu laki-laki paruh baya dengan rambut putih di kepala dan wajah duduk bersila di depan mic. Sepatu putihnya dia lepas dan diletakkan persis di sebelah botol air mineral yang dia bawa. Agaknya Remy Sylado atawa Alif Danya Munsyi akan membutuhkan banyak cairan selama berpentas. Aku tak pernah lihat wajah Remy secara langsung sebelumnya. Hanya saja aku telah membolak-balik halaman “Bahasa Menunjukkan Bangsa” yang dia tulis menggunakan nama Alif Danya Munsyi. Wajahnya terpampang di buku itu.
Berbeda dengan kedua penyair sebelumnya, Remy membuat puisi khusus untuk ditampilkan dalam Mendaras Puisi yaitu “65 Tahun yang Astaga”. Empat penari cantik berpakaian serba hitam mengiringi pembacaan puisi yang bait-baitnya mengkritik pemerintah. Jelas sekali Remy sangat emosional. Sesekali ditenggaknya air mineral di dekatnya sebelum melanjutkan bait-bait itu. Sayangnya, tak ada satu bait pun yang melekat di benakku karena terlalu larut mendengar dan melihat. Hanya saja aku ingat dia menyinggung lumpur Lapindo dan kasus Century.
Ditutup oleh D Zawawi Imron yang aku juga tak pernah mendengar namanya sebelum malam tadi. Dia mengawalinya dengan: Sumpah Kaum Gelandangan yang di antaranya “Kami kaum gelandangan bersumpah bahwa kami tak punya tanah”. Zawawi membacanya seperti demonstran mahasiswa meneriakkan “Sumpah Mahasiswa Indonesia”. Dia begitu unik, menggebu, dan humoris.
Aku akan ingat pilihannya untuk menjadi penyair karena, “Merasa selalu tersesat di jalan yang benar.” Dan dia bilang, “Dari pada selalu merasa benar di jalan yang sesat.” Kalimat itu dia ucapkan ketika ditanya oleh seorang terkemuka di negeri ini. Entah ditujukan untuk siapa kalimat yang diucapkan menyusul itu.
*Sebuah tulisan tentang pengalaman menonton pembacaan puisi dari seorang yang teramat sangat awam dan bodoh*
Hihihi.