Aku sedang sibuk mencabut ilalang di antara rumput Jepang sementara teman kecilku mengaji. Aku tak berpikir dan merasa apapun, tepatnya tak berani merasakan apa pun. Beberapa orang ku lihat hilir mudik membawa sekantong bunga dan botol air. Lalu sebuah suara membuatku mendongak, “Duduk di sini aja gak apa-apa. Asal jangan di kepala.”
“Oiya, makasi.” Aku menggeser dudukku di atas keramik merah.
Lalu suara itu terdengar lagi, “Tadi kakak lo udah pada ke sini, kok gak bareng?”
“Gak. Gue jarang ke sini rame-rame,” aku menjawab sekenanya.
“Lo deket banget ya sama dia?” laki-laki muda penjaga makam itu belum mau beranjak. Kini dia berdiri mematung membelakangiku. Arit di tangan kanannya kecoklatan dipenuhi tanah becek. Semalaman hujan deras. Semua makam masih basah.
“Iya, deket….” Aku masih mau menjawab sebelum dia buka suara lagi. “Lo gak nangis lagi kan? Jangan, kasian ade lo.”
“Kata siapa gue nangis? Gak,” bantahku.
“Sebelum puasa kan lo ke sini. Gue liat lo nangis,” lantas dia duduk di pusara bertahun 1976, di depan makam adikku.
Aku tak sempat menjawab karena dia terlanjur membuka mulut lagi. Kali ini bukan kepadaku, “Siapa namanya, Beh?”
“Halimah. Kalo gak salah sih di sekitar sini,” lelaki paruh baya yang dipanggil Babeh itu menjawab. Wajahnya bingung. Hal ini sudah sering ku temui selama dua tahun aku mondar-mandir di pemakaman ini. Aku tak berani membayangkan aku mengelilingi makam untuk mencari tempat peristirahatan adikku. Maksudku, bagaimana mungkin aku kehilangan makamnya?
Penjaga makam lantas membantu si babeh meneliti pusara-pusara di sekitar sana, hanya 10 meter dari tempatku. Ku lihat langkah kaki penjaga makam semakin jauh, si babeh menguntit di belakang.
Aku tak tahu siapa Halimah, yang dicari lelaki paruh baya berpakaian lusuh itu. Aku juga tak tahu bagaimana harus membantunya menemukan makam Halimah, yang entah punya hubungan apa dengan si Babeh. Tapi aku merasa sangat bersyukur karena aku tahu harus ke mana jika merindukannya. Paling tidak, di makam itulah saat aku merasa sangat dekat dengannya atau merasakan kehadirannya di sekelilingku.
Aku tak tahu bagaimana perasaan si Babeh yang tak tahu di mana Halimah? Di mana tempat perisitirahatan terakhir orang yang disayanginya. Aku sedang berdoa meminta agak tak mendapati fakta bahwa aku tak tahu di mana harus menemui orang-orang yang ku sayangi ketika ku lihat si Babeh termangu di depan sebuah makam tanpa nisan. Sambil beranjak ke luar arena pemakaman, aku berharap semoga itu memang makam Halimah. Kita gak mungkin lagi menelepon Halimah untuk menanyakan keberadaan dia, kan?