Siang bolong khas Ramadan. Tak sampai 10 menit setelah aku dan adikku pamit kepada mamaku. Aku pamit untuk berangkat kerja dan adikku pamit untuk mengantarku ke stasiun dengan motor kesayangannya.
Tapi apa yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat itu? Adikku yang berangkat dalam keadaan sehat walafiat dan segar bugar, jatuh dari motor. Bermandikan darah.
Aku telepon ibuku dengan histeris. Sebal dan gemetar karena harus menunggu hingga berkali-kali dering baru dijawab. Lalu menelepon kakakku yang masih di kantor. Menelepon kakakku yang lain lagi. Menelepon redakturku untuk izin karena dia menungguku di kantor.
Sembilan bulan kemudian. Hampir magrib. Badanku lemah karena terserang typus. Ponsel ku biarkan mati total karena lowbat. Aku keluar rumah ingin mencari udara segar. Sudah beberapa hari aku meringkuk di kamar.
Aku keluar mencari makanan yang bisa menggugah selera makanku. Tapi tidak ada yang menarik perhatianku. Aku melangkah teramat pelan. Biasa. Menjelang malam, penderita typus akan kembali diserang demam. Aku putuskn untuk pulang.
Di rumah, aku menyalakan handphoneku. Dan menjerit histeris membaca pesan singkat: Kenapa sih hp lo gw teleponin susah banget? Tghe meninggal di rumah sakit 30 menit yang lalu!”
Gelap! Tubuhku makin lunglai. Aku sejak dulu memang benci jika ponsel mati karena kehabisan baterai. Sudah banyak cerita orang kecewa karena ada kebutuhan mendesak sehingga harus menghubungi seseorang di telepon tetapi yang dihubungi tidak menjawab. Karena lowbat. Atau sengaja tidak diangkat karena sedang di jalan.
Aku juga tidak suka jika telepon tidak dijawab karena yang dihubungi sedang mengendarai motor. Tidak bisakah menepi sebentar untuk menjawab telepon? Kalau sesuatu terjadi pada si penelepon bagaimana? Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Maka bersiaplah setiap waktu. Jawablah selagi kita tahu dan mendengar telepon. Berhentilah sejenak untuk sekadar bertanya, “Ada apa?” Jika tak penting, tutup saja telepon itu semau kita.
Jam 9.13 malam