Selasa pagi, aku sudah membaur bersama pegawai pelat merah yang masih bermalas-malasan. Beberapa di antara mereka naik di kereta yang sama dengan yang ku tumpangi. Entah berada dalam satu gerbong atau tidak, tentu saja aku tidak peduli. Sebagian dari mereka duduk manis di meja kerja, yang lain berkerumun tak jelas membicarakan akar pohon mawarnya yang membelah pot. Sisanya, berbisik-bisik tentang rencana akhir pekan. Ya Tuhan, ini hari Selasa!
“Tunggu sebentar ya, Dik. Orangnya lagi terima tamu,” seorang laki-laki paruh baya menyentakku yang masih sibuk memerhatikan pegawai.
“Iya, Pak. Terima kasih.” Kembali aku termangu. Mengamati lekat-lekat meja kerja penuh kertas. Iya, kertas kumal yang sepertinya mereka juga lupa kenapa dokumen-dokumen itu teronggok di sana. Tidak tahu juga apa yang harus mereka lakukan terhadap kertas-kertas itu. Tidak percaya?
“Ada apa, Dik?” Tanya Bapak paruh baya yang ku tunggu.
“Mau minta data soal ….” itu suaraku.
“Oh, Adik dari mana tadi?” kembali si Bapak bertanya, air mukanya mulai menunjukkan tampang bingung.
“Saya Kandi dari ….” aku mendengar diriku berucap sopan.
“Jadi gini, Dik. Data yang adik minta itu kami nggak punya….”
“Apa saya datang di direktorat yang salah? Ada saran, Pak, di mana saya bisa minta data itu?” aku terburu-buru menanggapi karena si Bapak belum lagi selesai berpanjang lebar. Aku sebenarnya yakin sekali data itu seharusnya ada di sini, kalau dia menjalankan tugasnya.
“Oh, memang di sini seharusnya, bagian saya yang menangani. Tapi itulah, karena ada restrukturisasi, jadi kami belum sempat kumpulkan datanya dari daerah-daerah. Ini juga salah satu persoalan ketika otonomi daerah….” si Bapak terus curhat soal restrukturisasi di kantornya dan otda. Aku sama sekali tidak menaruh minat pada kisahnya. Aku butuh berita, bukan curhatan seorang pegawai negeri sipil yang kebingungan!
“Okay, kapan mulai soal-soal itu langsung diurus daerah?” tanyaku, masih berharap kemungkinan lain.
Lalu dia menyebut Peraturan Presiden tahun 2007 dan Peraturan Menteri 2008 nomor tertentu sebagai payung hukum kebijakan baru. Artinya, data sebelum tahun 2007 dan 2008 masih di bawah kendali si Tuan Bingung itu, bukan?
“Aduh, maaf ya, Dik. Bisa saya minta nomor teleponnya? Karena data sebelum tahun 2008 itu juga nggak ada. Nanti kalo ada, saya hubungi ya.”
“Jadi, data apa yang bisa Bapak kasih ke saya, sekarang?” aku belum selesai.
“Yah, paling cuma soal kebijakan itu, peraturannya. Mungkin Adik belum baca….”
“Oke, boleh juga saya baca peraturan itu, Pak,” aku jawab cepat.
Si Bapak mengacak-acak tumpukan kertas usang di mejanya. Dia tidak menemukan apapun bahkan setelah menyapu bersih sudut-sudut ruang kerja besar miliknya dan sejumlah rekannya. “Besok kembali ke sini aja, ya. Karena peraturannya nggak ketemu.”
Ya Tuhan, semoga otak si Bapak tidak hilang. Yang pasti satu hal, kesabaranku mulai tergerus. “Wah, terus, Bapak biasanya ngapain setiap hari di kantor kalo nggak punya apa-apa di sini?” Hanya sedikit ketenangan yang tersisa dari suaraku dan si Bapak tidak menjawab kecuali, “Nomor handphonenya berapa?”
Sebelum aku beranjak, dia menyarankanku naik satu lantai lagi untuk menemui bagian lain yang mungkin bisa sedikit memberi pencerahan. Dia juga bilang terima kasih karena sudah memberi saran soal keharusan ada data itu di direktoratnya. Sumpah, aku tidak menyarankan apapun. Aku hanya menanyakan apa yang dia hasilkan setiap hari selama delapan jam duduk di kursi kerjanya.