Jalanan belum terlalu padat. Saya memutuskan pulang, sebuah keputusan egois karena sedang ada peristiwa perampokan.

Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Kepala saya terus berputar dengan perut yang mual. Rasanya isi perut saya akan melompat keluar seluruhnya.

Saya menyempatkan ke kantor hari ini karena ada agenda rapat khusus editor. Seharusnya menjadi rapat penting karena terkait rencana 2017. Jika tak ada rapat, sepertinya saya akan bolos kerja.

Sore di kawasan Pitara, Depok. (Dok. Kandi)

Rapat sore itu terpaksa dilakukan dengan minus satu editor. Kami memang sulit rapat dengan personel komplit karena “hidup” kami sangat bergantung pada peristiwa. Apa enaknya hidup seperti ini?

Sebelum rapat dimulai, ada sebuah pengumuman penting yang disampaikan rekan saya. Dan pengumuman itu, mengubah rencana rapat sama sekali. Rapat dengan agenda awal batal, kami lantas disibukkan dengan perasaaan masing-masing.

Saya tersadar kemudian, hidup kami tak hanya bergantung peristiwa, tapi juga suasana kerja. Mungkin bukan kami, tetapi saya lebih tepatnya.

Di jalan pulang saya tak kuasa menahan air mata, untuk alasan apapun yang terjadi selama dua bulan terakhir, dan yang terakhir: pengumuman itu. Rasanya saya terlalu lelah menghadapi semua ini, tapi juga terlalu rapuh untuk berlari.

Apakah ini yang saya inginkan dalam hidup? Menangis atas kejadian yang tak bisa saya kendalikan sepenuhnya?

Apakah ini yang saya perlukan dalam pekerjaan? Menahan kenginan untuk pergi karena takut mengecewakan “sejumlah” orang?

Apakah hanya mereka yang boleh kecewa dan saya tidak? Apakah saya harus menerima situasi ini terus menerus demi menghormati siapapun yang ingin saya hormati?

Hari ini saya menyatakan menyerah.

Saya tiba di rumah jam 16.42 WIB, dan menghabiskan sisa sore yang asing di beranda rumah. Saya hampir lupa rasanya menikmati waktu tanpa keresahan.

Menjelang magrib, 27 Desember 2016