Menghabiskan Senja Bersama Aristides Katoppo

Turun dari taksi biru, seekor anjing kecil menyambut kami tanpa suara. Hanya wajahnya yang terlihat ramah.

Bersama seorang jurnalis muda yang bertugas sebagai videografer, saya celingukan di depan pagar rumah. Anjing berwajah dan bertubuh imut menggoyangkan ekornya.

Kami melangkah ke arah samping rumah, diikuti anjing yang belakangan kami tahu bernama Moki. “Karena warnanya Moka. Ada satu lagi Coki, karena warnanya coklat,” kata Ibu Sasmiyarsi Sasmoyo, istri Aristides Katoppo.

Sepertinya Moki sejak awal sudah tahu bahwa kami adalah tamu di rumahnya. Karena ketika kami salah masuk pagar, dia setia menunggu dan mengantar kami ke pintu masuk rumah yang seharusnya.

Ibu Sasmiyarsi menyambut kami, mempersilakan duduk, “Where are you from?”
Percakapan menjadi cair.

Ibu Sasmiyarsi sibuk menawarkan jenis minuman, sementara Ranny sang videografer dengan tenang menyiapkan kamera untuk merekam wawancara. Tanpa tergopoh-gopoh meski kami bagian dari “era baru media massa”.

Berbincang setelah makan malam bersama Aristides Katoppo dan istri di kediamannya, 29 Desember 2015.

Berbincang setelah makan malam bersama Aristides Katoppo dan istri di kediamannya, 29 Desember 2015.

Tujuan kami adalah Aristides Katoppo, jurnalis senior tahun 1960-an yang juga sahabat Soe Hok Gie. Nama yang belakangan saya sebut itu adalah misi tersendiri.

Saya menawarkan diri mewawancarai Pak Tides setelah redaktur pelaksana menyebut namanya untuk menjadi salah satu narasumber Fokus tanggal 31 Desember 2015.

Tides! Beberapa kali saya menghubunginya secara pribadi untuk berbincang soal Gie.

Bagi saya yang masih seumur jagung menjadi jurnalis, dan bahkan sempat terputus-putus, mengambil kesempatan mewawancarai jurnalis senior adalah sebuah kehormatan. Terlebih jurnalis itu adalah Pak Tides, yang di eranya membuat geger penguasa dan dunia internasional setelah liputan eksklusifnya terbit di The New York Times.

Pak Tides saat itu mendapat isi surat khusus yang dikirim Presiden Amerika Serikat John F Kennedy lewat Jaksa Agung Bob Kennedy untuk Istana. Surat khusus yang isinya bahkan tidak didapat wartawan New York Times yang ikut dalam rombongan Kennedy ke Jakarta.

Bagaimana Tides mendapatkannya?

“Hasil ketekunan, ketelatenan, go the extra mile and extra day. Jadi pada waktu wartawan lain sudah pulang, kita masih di situ. Lama-lama banyak berita di jam-jam orang sudah pulang,” Tides berujar.

Atas artikel yang membuat semua media kebobolan, Tides mendapat bonus US$500 dari New York Times.

Cerita terus mengalir, meski sesekali dengan jawaban yang bercabang.

Setelah satu jam, Ibu Sasmiyarsi bergabung dan mengangsurkan camilan. Memaksa Ranny dan saya mengunyah sambil mewawancarai dan merekam suaminya.

Jam 18.50 wawancara berakhir, tanpa notes dan bolpen. Karena sebagai jurnalis media mutakhir, sepanjang wawancara saya menggenggam gadget sembari khusyuk mengetik di notes ponsel.

Mencatat pernyataan utama Pak Tides sebagai panduan memilih angle.

Kami bergegas pulang, tapi secepat itu juga dicegah Ibu Sasmiyarsi, “Aku sudah siapkan makan malam. Ayo makan dulu.”

Kami menolak dan dibantah, “Ayo 15 menit saja. Makan malam ada di meja.” Dan kami tak kuasa menolak.

Saya merasa mewah bisa berkesempatan makan malam bersama Pak Tides, ditambah bonus istrinya yang ramah dan juga cerdas. Menu ayam panggang, rendang daging sapi, cah kangkung telur puyuh, lalap dan sambal, terhidang di meja bundar.

Ada nasi uduk juga!

“Boleh saya duduk di samping Pak Tides?” saya langsung meminta.

“Boleh di mana saja,” kata Ibu.

Di meja makan, satu dua isu menarik untuk ditindaklanjuti muncul ke permukaan. Kemewahan lain yang tidak akan didapat jika hanya wawancara lewat telepon apalagi doorstop.

Meski berstatus jurnalis media mutakhir, saya sadar akan keutamaan kehadiran, berada dalam jarak paling dekat dengan peristiwa dan narsumber. Sepenuhnya menyadari bahwa melakukan riset semendalam apapun, tak akan pernah bisa menggantikan kekuatan reportase dan wawancara tatap muka.

Saya belajar dari Pak Tides yang rendah hati dan tak menghakimi. Sebagai jurnalis era 60-an yang harus menitipkan artikelnya lewat pilot ataupun pramugari saat liputan ke luar kota, Pak Tides tak sinis menghadapi perkembangan media sebagai penampung karya jurnalistik.

Dalam sebuah workshop bertajuk “Jurnalisme Naratif di Era Media Daring” awal bulan ini, salah seorang peserta bertanya, “Perlukah media berubah untuk mempertahankan pembaca?”

Jawabannya bagi saya jelas, perlu.

Nyatanya teknologi berubah, kebiasaan masyarakat berubah, dan kebutuhan informasi juga berubah lebih cepat. Menjadi yang pertama dan tercepat memang bisa jadi bukan yang terbaik.

Tapi sebaliknya juga jangan lupa, tak ada jaminan bahwa yang lebih terlambat pasti yang terbaik. Apalagi jika sampai menyeret-nyeret soal moral dan etika.

Karena era media hari ini, etika dan moral tak lagi berbanding lurus dengan media tempat para jurnalis berkarier. Etika dan moral melekat kuat dalam diri jurnalis yang mendengarkan nurani, tak peduli media konvensional atau daring.

Kata Pak Tides, “Yang dipertahankan jurnalis adalah kredibilitas sehingga menghasilkan integritas.”

Pernyataan itu menutup perbincangan panjang dengan sang pecinta alam ini. Senja sudah meninggalkan kami satu jam yang lalu, menandai senjakala percakapan berkesan dengan Pak Tides.

Baca artikel lainnya di sini.

0 Shares

6 responses

  1. Dear Kandi, tulisanmu mengenai Tides bagus, hangat, dan kocak meski tetap bermutu. Terus nulis dong seperti Soe Hok Gie sampai jumpa…
    kapan mau ke rumah kita di Gadog….

    Salam manis,..
    Mimis Katoppo

    • Waaahhh, ada Ibu Mimis! Ibu apa kabar? Makasi ya Ibu sudah mau meluangkan waktu untuk baca blog saya. Iya Ibu, saya mau main ke rumah Ibu di Gadog. Nanti saya SMS ya Ibu. Terima kasih sekali lagi, Ibu.

  2. Dear Rd Kandi,
    Terima kasih telah membuat tulisan tentang Bapak Aristides Katoppo.
    Saya jadi ingat dengan Ibu Mimis / Ibu Sasmiyarsi Sasmoyo dan Bapak Aristides, karena istri saya (Tuti-Wartining Tyastuti) pernah bekerja dengan beliau.
    Kami sudah lama hilang kontak dan terakhir ketemu sekitar tahun 2008 di rumah beliau didaerah Ragunan.
    Apakah boleh kami meminta nomor kontak beliau ?
    Mohon bantuannya.
    Terima kasih,
    Indaryanto

Leave a Reply to Kandi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *